Selasa, 21 Januari 2014

Balada Buruh Rambut #1

Cerita ini bukan kisah nyata betulan, hanya memang ada beberapa bagian yang mungkin benar - benar terjadi di kehidupan nyata. Bila ada kesamaan nama dan tempat, kiranya itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Cerita ini juga termasuk dalam fiksi, hanya ada dalam khayalan kita saja... Cerita ini hanya dibuat karena kejenuhanku saja, iseng - iseng nulis fiksi lagi...
Lets go...

Matahari sudah benar - benar bersinar diatas sana, dengan seenaknya berkuasa dilangit yang luas tanpa ada awan yang mengganggu. Sinarnya mulai menghangatkan belahan bumi ini, tersampaikan pada dedaunan pohon yang menghijau, tersampaikan pula pada kubangan air tanah yang mulai menyurut. Sinarnya tanpa lelah menyinari bumi ini, entah sampai kapan ia mampu bersinar hanya Sang Penciptalah yang tahu segalanya.
"jeng, sida kondangan ne Bu Lia ra?" (jeng, jadi kondangan tempat bu Lia ga? sms dari teman kerjaku mengganggu sarapanku
"ra ngerti, ndeleng ngko awan"( ngak tahu, liat nanti siang) setengah piring nasi goreng yang tak lagi hangat kutinggalkan begitu saja saat kuketik balasannya
Begitu kuhabiskan teh manis bagianku, langsung saja kuambil tas dan kunci motor yang kusiapkan didalam kamar. Tak kupedulikan ocehan mamakku yang sedang membereskan meja makannya, sering kali ia mengomel bila melihat makananku maupun kakakku masih tersisa. 
"aku mangkat ma" (aku berangkat ma) kataku sambil mencium tangannya. Dapat kulihat garis - garis tanda penuaan diwajahnya yang memang sudah tua. Bila sudah begini, selalu saja muncul perasaan bersalah belum bisa membahagiakan dirinya.
"ati-ati" katanya pelan,
Tak dapat kujawab perkataan mamakku hanya bisa melangkahkan kaki semakin menjauhi ruang makan. Tak kutengok lagi mamakku yang sekarang mungkin sudah sibuk dengan urusan dapurnya. Semenjak kematian ayahku tiga tahun yang lalu, ibuku hanya mampu tuk mengurus urusan dapur. Beliau tak lagi berjualan dipasar seperti saat ayah masih hidup. Aku dan kakakku hanya bisa mengangguk ketika diminta persetujuannya, toh kakakku sudah bekerja di salah satu rumah sakit meski hanya sebagai cleaning servis. Sementara aku waktu ayah meninggal masih duduk dikelas dua SMA, hanya bisa diam menunduk tanpa bisa ikut berkomentar..
'selamat datang mentari, selamat menjalani hari ini lan" ucapku pada diri sendiri menatap matahari diatas motorku..
7777
"kondangan ra?" (kondangan tidar) tanya Ria mendekatiku saat aku baru masuk ruangan
"selamat pagi, kaya kue nek nyapa kanca" (selamat pagi, seperti itu kalau menyapa teman) balas ku tersenyum
Ria hanya tersenyum mendengar ocehanku,, "ya.. ya.. selamat pagi temanku yang cantik" lanjutnya
"gitu dong, pagi juga temanku yang baik hati.." jawabku "aku mau foto copy lap bulanan dulu ya, takut ntar rame" segera aku keluar lagi dengan membawa buku laporan
"ye,, sidane kondangan apa ora?" (ya, jadinya mau kondangan apa enggak?) tanyanya setengah berteriak.
Arus orang - orang yang memasuki pelataran pabrik ini makin banyak. Mungkin ribuan orang ada disini, mencari penghasilan pada pabrik yang telah berdiri selama puluhan tahun. Rata - rata karyawannya adalah wanita, hanya ada beberapa tenaga laki - laki yang dipekerjakan dan itu hanya sebagian kecilnya saja. Bila pagi seperti ini, terlihat dari wajah - wajah para pekerja masih tampaklah semangat yang besar. Canda tawa antar pekerja terdengar disetiap sudut, terkadang membicarakan pekerjaan, kehidupan pribadi, artis ataupun sekedar harga cabe dipasar.
Sengaja kulangkahkah kaki dengan pelan - pelan, sengaja kunikmati setiap udara yang terasa menyapaku pagi ini. Kutatap seluruh aeral pabrik, dari bangunan yang terlihat sudah tua namun masih saja berdiri dengan kokoh, taman yang indah dan terawat karena Sang Mister (pemilik pabrik, merupakan warga Korea) menyukai tanaman, kupandangi lorong panjang yang berisi para pekerja yang mulai akan memasuki ruang kerjanya. 
'kenapa aku bisa terdampar disini' kataku dalam hati
"ngalamun bae"(melamun saja) suara pak Andi mengagetkanku, ia orang HRD tapi sangat suka bercnda dengan orang produksi seperti ku ini.
"pagi pak," sapaku
"pagi juga lan,, "jawabnya sembari menlanjutkan langkahnya
Ruang foto copy berada hampir dibagian depan pabrik, dekat dengan kantor administrasi dan sangat jauh dari ruang produksi tempatku berada. Satu hal yang kusuka dari ruang foto copy adalah petugasnya, bukan naksir (dia sudah punya istri, sudah tua lagi), hanya dia mempunyai sifat kebapakan. Saat kuceritakan masalahku pasti ia mempunyai saran yang berbeda dari pemikiranku, dan itu tak kudapat dari orang lain, bahkan kakakku sendiri tak seperti itu. Aku selalu merasa bila beliau adalah orang yang mirip dengan ayahku,, 
"turnuwun Pak Sugeng" (makasih pak sugeng) kata mba Isa terdengar dari depan ruang fotocopy "hai lan, tumben pagi banget" sapanya
"iya nih mba kepagian berangkatnya" candaku
"kalo ada kesiangan pasti ada kepagian juga ya, hehehe" jawabnya "udah ah, duluan ya..."
"ok mba,,," jawabku singat "pagi pak Sugeng,, mung limang lembar, tak tunggu bae"(hanya lima lembar, kutunggu saja) kataku sambil menyerahkan buku laporan
"yang terakhir kan?" tanyanya menyakinkan dirinya sendiri
"ya seperti biasa pak?" kataku "Pak, kondangan tempat bu Lia ngak?" tanyaku langsung
"ngak tahu juga, lagipula ini kan pernikahan kedua kalinya kan" katanya sambil terus bekerja dengan mesin fotocopy "lagipula tanggal tua, lan"
"nah itu dia pak, tanggal tua lagi,, benar - benar ngak ada dana" curhatku "tapi kemarin waktu Bapak meninggal bu Lia ketempatku"
"belum minggu depan si Aya kan nikahan" tambah pak Sugeng
"aduh pak, ini satu aja belum mana ditambah lagi" kataku "kenapa si harus tanggal - tanggal tua pada nikah"
"kan udah tanggal baik menurut orang tua, lan" katanya
"tapi ngak baik buat aku" kataku "kalo ngak datang ngak papa kan pak, toh masih ada Adit yang udah kelas 5 SD pasti bentar lagi sunatan"
"ngak papa, Lan. Ngak bakal ditanyain sama bu Lia kok. Lagian masalah dia datang waktu ayah kamu meninggal ngak ada kaitannya dengan pernikahan bu Lia, pasti ntar ada undangan lain yang datang." terang pak Sugeng
Secercah harapan muncul atas masalah jadi kondangan atau tidak tempat bu Lia, bila saja ditanggal - tanggal waktu awal gajian pasti aku akan datang. Tapi ini masalahnya dia menikah di tanggal tua, dimana keadaan keuangan sudah benar - benar terkikis.
Andai gaji seorang buruh pabrik rambut sepertiku sama besarnya dengan gaji pegawai negri pasti tak ada ribet dengan urusan sepele seperti ini... Huh tanggal tua yang selalu kuharapkan tak pernah.. 

Sekian. Tunggu kelanjutannya postingan berikutnya...


#terimakasih sudah berkunjung dan membaca unek-unekku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar