Sabtu, 27 September 2014

(BUKAN) Resensi Ronggeng Dukuh Paruk

Penulis           : Ahmad Tohari
Kota Terbit    : Jakarta
Tahun Terbit : 2011 (cetakan kedelapan)
Penerbit        : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman       : 408 halaman
Siapa yang tak mengenal Ahmad Tohari, seorang penulis dengan puluhan judul yang telah dikenal di negeri ini. Salah satu yang paling dikenal adalah Ronggeng Dukuh Paruk. Tak hanya bertutur tentang romantisme percintaan manusia, tetapi juga tentang budaya Ronggeng,  tentang Dukuh Paruk mulai dari pendirinya, orang-orangnya, suasana dan kondisi pedukuhan, bahkan bercerita tentang kelamnya pengkhianatan yang mengatasnamakan komunisme.
Buku yang merupakan cetakan kedalapan ini merupakan penyatuan trilogy dari Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jentera Bianglala yang dulu terbit terpisah. Juga terdapat bagian yang 22 tahun disensor karena tidak adanya kebebasan dalam menyuarakan suara terhadap politik dan pemerintah.

Ronggeng Dukuh Paruk
Bercerita dari sudut pemikiran Rasus, perjaka Dukuh Paruk yang yatim piatu karena malapetaka brongkek. Ia berteman dengan Srintil, yang suatu ketika memintanya menirukan suara gamelan dan Srintil dengan luwesnya menari dan menyanyi seperti Ronggeng yang tengah pentas. Adalah Santayib dan istrinya, yang merupakan orang tua Srintil, merupakan pembuat tempe brongkek di Dukuh Paruk. Dan suatu masa terjadilah geger racun bongkrek karena tercampurnya racun asam tembaga dari peralatan yang digunakan hingga tumbuh bersama bongkrek tersebut. Tak hanya orang tua Rasus yang meninggal, tetapi juga orang tua Srintil dan puluhan orang Dukuh Paruk lainnya. Tahun telah berlalu dan berganti, Srintil yang merupakan anak Santayib, merasa harus menjadi Ronggeng, karena Dukuh Paruk tanpa Ronggeng merasa hampa dan tak hidup.
Sebagai teman sepermainan Rasus kini menyadari akan kehilangan Srintil yang bermimpi menjadi Ronggeng. Ia tersadar akan kehilangan Srintil karena Ronggeng adalah milik Dukuh Paruk. Namun ia tetap membantu Srintil menjadi Ronggeng, dari pemandian di makan Ki Secamenggala, memberikan keris pusaka Kyai Jaran Guyang, hingga menemaninya dalam bukak klambu. Srintil sah menjadi Ronggeng (meski keperawanannya diberikan pada Rasus) dan Rasus pergi karena tak bisa melihat Srintil dimiliki oleh Dukuh Paruk dan lelaki yang datang padanya.
Ronggeng tak hanya menari, ia harus menerima dan melayani setiap lelaki yang datang padanya. Dan Rasus tak bisa membayangkan Srintil diperlakukan oleh ribuan lelaki, oleh karena itu ia pergi melarikan diri. Meski hanya sejauh Pasar Dawuhan, yang terpisahkan oleh bulak sawah yang panjang. Rasus tetap tak bisa menerima Srintil sebagai Ronggeng, meski Rasus dan Srintil bertemu di Pasar Dawuhan. Sebuah takdir menemukan Rasus pada Sersan Slamet. Dan karenanya, ia kini menjadi tobang yang melayani para tentara di Dawuhan. Menulis, membaca dan merakit senjata adalah salah satu pelajaran dari Sersan Slamet.
Suatu hari perampok datang ke Dukuh Paruk, harta Srintil adalah satu-satunya perampok itu nekat pergi ke pedukuhan yang sepi. Dan Rasus bersama tentara pimpinan Sersan Slamet berhasil mengepung para perampok. Sebuah kematian pertama dan kebanggaan yang dirasakan Rasus, Dukuh Paruk telah melihat anaknya berubah menjadi seorang tentara yang membanggakan. Dan Srintil menyadari kini Rasus telah berubah, dan hatinya sangat mengharapkan ia bisa menjadi pendamping bagi Rasus. Tetap dengan pendiriannya Rasus melangkah pergi, meninggalkan Srintil yang dicintai, meninggalkan Srintil yang masing Ronggeng, meninggalkan Dukuh Paruk, tanah lahirnya.

Lintang Kemukus Dini Hari
Kisah bergulir dari sudut pandang Srintil. Menyadari Rasus pergi meninggalkannya, hati Srintil tidak bisa menerima. Ia mulai menyadari bahwa Ronggeng dan dunia lelakilah yang membuatnya terpisah dari Rasus. Semangat hidupnya meredup, menolak Marsusi pengawas hutan WanaKeling, pergi menyusul ke Pasar Dawuhan, berhari-hari mengurung diri didalam kamarnya. Hanya Goder yang mampu membuat ia tersenyum, dari mata Goder lah Srintil menemukan dunia yang masih jernih, tanpa masalah kehidupan yang sukar diurai seperti dirinya. Dan sejak Goder dalam pangkuannya, Srintil mulai menampik lelaki yang datang, ia bertekad akan berubah menjadi perempuan sejati. Namun, indang (jiwa) Ronggeng masih berada dalam tubuh Srintil, dan itu tidak bisa ditepisnya. Dan Srintil memutuskan hanya untuk menjadi Ronggeng yang menari, hanya menari diatas pentas. Dan Marsusi yang sakit hati atas penolakan Srintil mencoba membalas dendam. Membawa jimat dari dukun Segara Anakan, ia mengacaukan pementasan Srintil pada acara 17 Agustus di Dawuhan. Namun berkat Kartareja, Marsusi sadar dan mengakhiri perbuatannya, mereka sama-sama tertawa melihat Srintil yang mulai kembali menari.
Menjadi gowok adalah pengalaman yang baru bagi Srintil, Nyai Kartareja mengatakan inilah pembalasan Srintil saat dulu menjalani bukak klambu. Gowok adalah tradisi AlasWangkal, dimana seorang perjaka dilatih untuk siap dalam menjalani sebuah kehidupan suami-istri. Meski sudah berjanji akan tidak melayani lelaki lain, namun Srintil bertekad membantu Waras, perjaka yang masih anak-anak. Upaya Srintil tak berhasil, ia hanya menyadari bahwa Waras tidaklah seperti lelaki yang sering dijumpainya, Waras tidak dapat mengikuti kodratnya sebagai seorang lelaki.
Ketika komunis mulai ramai di Indonesia, komunis bahkan bisa menyusup ke Dukuh Paruk yang terpencil. Melalui Pak Bakar, antek komunis yang membawa Srintil dan grup Ronggeng Dukuh Paruk dalam pementasan seni yang mengatas namakan kesenian rakyat. Kericuhan mulai terjadi, makam Ki Secamenggala dibakar, orang-orang yang ikut dalam Ronggeng dicari oleh polisi, dan berakhir pada penahanan Srintil, Ronggeng Dukuh Paruk yang akhirnya dipenjara. Dan Dukuh Paruk kembali berduka, dari segala kedunguan mereka, Dukuh Paruk dipersalahkan karena mengikuti komunis yang bahkan tak mereka tahu apa arti dari komunis. Dukuh Paruk yang malang.

Jantera Bianglala
Musim telah berganti, tahun terus berputar. Dan Srintil masih mendekam dipenjara. Rasus yang merupakan tentara kebanggaan Dukuh Paruk tak sanggup tuk membebaskannya, ia bahkan tak bisa mengucap satu kata pun saat menjenguk Srintil. Nasib Srintil kian merana, ia menjadi wanita bagi para petinggi dipenjara yang menginginkannya. Meski akhirnya Srintil dibebaskan, tapi ada sebagian jiwa Srintil yang tetaplah terpenjara. Ia menangis ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Dukuh Paruk, tak kuasa air matanya mengalir melihat tanah kelahirannya kini hancur akibat malapetaka komunisme.
Srintil telah kembali, Sakaraya kakeknya bisa bernafas lega karena bila ia meninggal cucunya bisa melihatnya pergi. namun Srintil bukanlah Srintil yang dulu, hidupnya penuh dengan ketakutan, ia membungkam saat ditanya pengalaman dipenjara, ia harus lapor rutin pada penjara, dan harus menundukan kepala sekaan melihat dunia akan membunuhnya.  Ditengah perjuangannya masih saja Srintil dicoba dengan ulah Marsusi yang mengajaknya ke WanaKeling, namun sang Kuasa masih memberikan pertolongan padanya.
Seiring waktu yang berjalan, kemajuan pun mulai menghampiri Dukuh Paruk. Sejumlah pembangunan irigasi sawah Dukuh Paruk membawa sejumlah orang dari Jakarta. Termasuk Bajus, yang bersikap sopan, baik dan menarik perhatian Srintil. Disaat hati Srintil mulai berkembang akan Bajus, Rasus kembali pulang ke Dukuh Paruk. Meski Srintil masih mengharap Rasus, tetapi ia menyadari ia adalah bekas tahanan yang mungkin tak akan pantas dengan seorang tentara seperti Rasus. Dan Rasus memberi pesan yang indah, ia akan merelakan Srintil hanya untuk lelaki yang baik, lelaki yang mengharapkan Srintil menjadi istrinya. Dan bila Srintil tidak menemukan lelaki tersebut, maka Rasus akan kembali kepadanya.
Dengan segala pesona dari Bajus, membantu Srintil membangun rumah, mengajaknya liburan kepantai, dan segala sikap yang sopan membuat Srintil menaruh harap padanya. Srintil berharap ia bisa menjadi istri bagi Bajus, bahkan tak  mengapa bila hanya menjadi istri kedua. Namun ternyata Bajus adalah lelaki peluh, lelaki pengecut yang memperdaya Srintil. Ia bahkan menjual Srintil pada Blengur, bosnya yang merupakan lelaki petualang. Untunglah Blengur mampu melihat keinginan Srintil yang berharap menjadi wanita baik-baik. Namun semua terlambat, ulah Bajus tersebut membuat Srintil merasakan kematian jiwanya. Jiwanya telah pergi, meninggalkan raganya yang tak perdaya. Akal sehatnya entah kemana meninggalkan badannya yang semakin kurus.
Rasus pulang dari pengabdiannya di Kalimantan, ia berpikir ia bukanlah prajurit  yang sesungguhnya. Ia berpikir ia tak kan sanggup melihat sebuah kematian karena senjatanya. Rasus pun berharap akan Srintil, tak mengapa bila ia sudah menjadi istri orang, asalkan bukan lagi seorang Ronggeng. Namun semuanya sudah terlambat.
Rasus melihat Srintil telah tak berjiwa, ia melihat Dukuh Paruk yang dungu dan terbelakang. Dan Rasus pun menyadari bahwa ialah yang sanggup mengubah semuanya. Mengubah Dukuh Paruk.
 
Penilaian pribadi
Saat membaca novel ini, seakan kita berada di Dukuh Paruk. Ahmad Tohari benar-benar mampu menuliskan pedukuhan Dukuh Paruk dengan kemaraunya, keterbelakangan mereka, bahkan hingga tingkah bunglon pun terasa nyata. Novel yang mengajarkan kita pada budaya, adat, lingkungan dan perasaan dari kehidupan manusia.

Jumat, 19 September 2014

Mengenang Keberanian Yang Berlalu

Dua tahun lalu, semangat itu begitu membara, impian itu begitu terlihat didepan mata. Langkah terasa sangat ringan, tanpa beban pikiran yang terus menghantui. Namun, kini semangat itu menguap, seakan embun yang terbakar sinar mentari.
Sebuah perjalanan penuh keberanian, keyakinan dan harapan. Berawal dari Jogja yang masih bernuansa tradisi namun telah berbaur dengan ribuan alat modern dan ratusan jenis suku.
 
Perjalanan panjang melintas kota dan laut, menaiki gerbong kereta, bus dan kapal laut. Perjalanan darat menempuh hari dan malam, berbaur dengan udara kemarau yang panas dan dingin.
 
Lombok, Mataram, Senggingi, Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air adalah sejumput pesono nusantara yang dapat kujelajahi. Dititik ini aku tersadar, bahwa negara ini sangatlah mempesona, kaya akan alam yang memukau, kaya akan budaya yang mengakar, kaya akan kuliner yang menggugah selera. Sayang seribu sayang masalah dan kondisi negara ini terlalu rumit tuk diselesaikan dalam waktu yang singkat. Sangat mudah dan singkat untuk membalikkan telapak tangan, tetapi untuk mengatasi masalah yang menutupi keindahan negeri ini tidak lah sesingkat itu.
 
Terima kasih terucap kepada kawan-kawan pendaki gunung Rinjani, bersama mereka saya berhasil melintasi pulau Dewata tuk pertama kalinya.
Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman asli dari Lombok dan Mataram yang tak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas arah dan kebaikan dari kalian pada pengembara yang tersasar ini. Atas tumpangan tidur gratis, keliling Lombok, dan petunjuk arah yang benar. 
 
 
Sebuah kenangan memang tak bisa dihapuskan, hanya akan terlupakan. Berada ditumpuk terbawah, tertutup oleh kenangan-kenangan yang lain. Demikian pula akan perjalanan ini. Suatu saat semoga saja bisa mengulangnya kembali, Kembali pada Gili Meno, Gili Trawangan, dan Mataram...
Dan kata terakhir.. 
SAYA RINDU BACKPACKERAN

Kamis, 18 September 2014

Kenangan Itu



Tak habis pandanganku pada sudut sekolah itu. Tepat berada ujung deretan ruang Kepala Sekolah, TU dan perpustakaan. Dan ruang-ruang kelas kejuruan yang setiap hari berbeda seragam. Diruang yang akan sepi bila jam pelajaran sedang berjalan dan akan ramai lalu lalang murid saat bunyi istirahat telah berunyi.
Disudut itulah tersimpan secuil memori yang mungkin tak kan terhapus. Hanya akan sedikit terlupakan dan akan kembali bila muncul sang pemicunya. Tertumpuk oleh kenangan dan kejadian yang terus bertambah. Menjadi kenangan paling belakang yang ada dalam ingatan.
Sekilas kulemparkan pandangan pada koridor depan ruang kelas. Terasa berbeda meski terkesan masih sama. Panjangnya masih sama, cat temboknya telah berbeda. Jumlah ruang dan kegunaannya masihlah sama, tetapi penghuninya telah berbeda. Entah bisa atau tidak aku kembali pada masa itu, sebuah pertanyaan besar yang menyangkut ruang dan waktu.
"Mba.." petugas TU berkerudung itu memanggilku.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Aku tahu legalisir ijazah telah selesai. Dan aku tahu pula kenangan tersebut pun telah usai. "Sudah selesai?"
` *** `
"Tau anak XAK1 gak yang biasa ngikut gerombolan Tata?" 
"Yang sering berangkat dan pulang sama-sama itu ya? Yang rambut lurus sebahu?"
"Ya, itu tuh.. tau gak?"
"Enggak. Memang guru yang hafal tiap anak muridnya."
"Yee.. guru aja gak bakal hafal sama kita, kalo kitanya gak bandel, pinter atau bodoh ya susah dihafalin sama guru" 
Diam. Hening. Sunyi.
Tak terdengar lagi percakapan dua siswa itu lagi dari dalam perpustakaan. Hanya ada detak jarum jam di dinding perpustakaan. Sementara ratusan buku dan ribuan koran tak dapat bersuara. Hanya bersembunyi dibalik rak-rak buku yang diam membisu. 
'Siapa yang bicara diluar" tanyaku dalam hati 
Gara-gara tak membawa tugas contoh laporan keuangan koperasi harus kukerjakan diruang ini. Bu Tyas gak pernah toleran dengan anak-anak yang melupakan tugasnya. Tak peduli segudang alasan yang sudah kami siapkan, dia tetap saja menyuruh kami tuk mengumpulkannya. Apapun caranya. Dalam perpus yang memang sepi aku memulai laporan yang tertinggal didalam kamarku. 
Dan sekarang konsentrasiku entah pergi kemana setelah mendengar percakapan diluar perpustakaan.Meski namaku tak disebut, aku tahu maksud mereka adalah aku. Hanya aku anak XAK1 yang berangkat dengan gerombolan Tata dan anak-anak jurusan TKJ. 'Kenapa tadi gak keluar saja sih daripada penasaran gini' ujarku sambil mengembalikan jalan pikiranku.
 ` *** ` 


'Ah, pohon itu' Aku menatapnya takjub. Tak percaya kalau pohon ini masih dipertahankan ditengah perubahan sekolahku ini. Kelasku berada didepan pohon besar ini. Rindang saat kami beristirahat selepas olahraga atau jam istirahat. 
Batangnya masih kokoh, meski terlihat bagian atas pohon yang dipotong disana-sini. Hijaunya daun-daun itu masih tetaplah sama, meski tertutup debu karena sekarang kemarau. Dan lihat, daun-daun kuning yang rontok itu masih saja berjatuhan dilantai lapangan dan depan kelas. Aku tersenyum melihat daun-daun layu itu tergeltak dilantai, aku masih ingat anak-anak kelas kami sering kali ribut karena daun-daun tersebut membuat depan kelas kami menjadi kotor.
Haruskah aku meminjam mejad Nobita, yang menjadi penghubung masa depan dan masa lalu. Kenangan itu terlalu indah tuk ditumpuk disudut otakku. Rasanya ingin aku berada dimasa itu saja. Mengulangnya dan tinggal didalamnya.
"De, kantinya disebelah mana ya?" kutanya pada anak Perkantoran yang sedang melintas didepan pohon.
"Sekarang didepan sana kak, gabung dengan fotocopy. Disamping tempat parkir" jelasnya 
"Makasih ya"
Dia hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian bergegas meninggalkanku. Mungkin ia sedang terburu-buru, berjalan dengan cepat dan menghilang di belokan bertuliskan Toilet.

 ` *** `
"Beneran sudah gak sakit?" tanya Ryan
"Mending dibawa ke rumah sakit. Siapa tau dia gegar otak atau lupa ingatan.."
"Doainnya kok gitu Ta, ntar kalo beneran lupa ingatan gimana?" aku memotong perkataan Tata
Hari Jum'at adalah waktunya bersih-bersih dan senam bersama. Namun bukannya sehat, kepalaku malah pusing.
Aku yang masih sibuk dengan rumput-rumput yang sudah meninggi tak sengaja terkena bola orange itu. Sekelompok anak kelas X dan XI sedang bermain selepas acara senam. Menyebabkan kepalaku langsung terasa berputar, meski tak sampai pingsan tetapi tubuhku seketika melemas. Aku masih tersadar akan suara teman-temanku yang langsung berteriak. Aku pun masih merasa kalau tubuhku dipapah oleh Lia dan Sri. 
"Enggak lah, aku cuma kaget aja" kataku menatap teman Tata tersebut.
"Aku bener-bener minta maaf ya. Beneran gak sengaja tadi.Arah bola itu seharusnya kering bukan kekepalamu" cerocosnya
"Udah ah, mending pulang aja yuk, daripada disini kena ceramah sama si Ryan ini" ujar Tata sembari menarik tanganku.
Ryan, teman sekelas Tata yang tak sengaja melempar bola basket tersebut. Sejak kejadian tersebut ia benar-benar panik dan selalu menanyakan keadaanku. Bahkan pada jam istirahat, dengan wajahnya yang panik ia membawakanku segelas teh manis.
Sekilas Ryan adalah pemuda biasa, tubuhnya kurus dengan tinggi kurang lebih 165 meter. Dibalik seragam olahraganya terlihat kulitnya yang kecoklatan. Rambutnya hitam dan pendek, meski sedikit acak-acakan dan terlihat berkeringat. Sementara yang paling menarik adalah pandangan matanya yang tajam, mungkin ia akan memandang dengan penuh minat apa yang menarik hatinya.
Ia hanya diam menatapku pergi ditarik Tata. Tepat dibawah pohon depan kelasku ia berdiri. Tatapannya masih terarah pada kami yang perlahan mengecil karena semakin menjauh. Sementara aku pun melangkah pulang, terdengar celotehan Tata dan teman lainnya. Saat kutengok kearah belakang, Ryan masih berdiri ditempatnya. Ryan masih berdiri didepan pohon besar itu. Bayang pohon mulai mengaburkan sosoknya.

 ` *** `
"Lulus tahun berapa nak?" tanya Bu Jum sambil melayaniku.
Kuterima piring nasi pecelnya, lengkap dengan sepotong mendoan yang hangat. Sosok itu masih ada, kukira aku takkan lagi menemukannya saat kembali kesekolah ini. 
"Sudah lima tahun yang lalu bu, sudah banyak yang berubah bu.."
"Ya, beginilah nak, disana sini dirubah, dulu yang ruang kelas sekarang jadi lab komputer, warung ibu juga ikut berubah" adu ibu yang terlihat berumur 60 tahun lebih.
"Tapi rasanya tetap sama bu," ucapku setelah merasakan satu suapan nasi pecel favoritku dulu.
Satu lagi yang tak bisa lupakan dari sekolah ini. Kantin yang selalu ramai saa istirahat. Hingga terkadang bangku-bangku yang panjang ini tak muat bagi para pelajar. Meski panganan yang disediakan sederhana dan mudah ditemukan, tetapi tetap saja memberikan warna yang berbeda.
"Biasa bu.." ucap seorang laki-laki berkacamata yang baru duduk diujung bangku panjang
"Udah selesai ngajarnya mas, pagi amat" tanya Bu Jum
"Laper, daripada gak konsen" katanya sambil mengambil keripik singkong didepannya.
Aku hanya tersenyum, 'inikah guru-guru jaman sekarang, meninggalkan muridnya hanya untuk kepentingannya pribadi' sekelat pikiranku tertuju pada hal yang bukan-bukan. Segera saja kuhabiskan nasi pecelku dalam diam. Hanya denting sendok yang beradu dengan piring terdengar lirih. Tak kupedulikan lelaki yang kini juga sibuk dengan nasi pecelnya.

 ` *** `
Pohon, kantin dan sudut depan perpustakaan  adalah sebagian kecil dari ingatan masa sekolah. Ingatan yang hanya bisa dipanggil tanpa diulang kembali. Kejadian demi kejadian yang terus berulang dan berhenti saat kita menerima ijazah kelulusan.
Sekali lagi kuhembuskan nafas yang terasa berat. Seberat langkahku yang akan keluar dari sekolah ini. Entah kapan aku bisa kembali lagi. Menikmati kenangan masa indah.
Sekali lagi kulewati sudut sekolah, yang dulu merupakan perpustakaan. Mencoba menghimpun seluruh kenangan yang lalu, mengumpulkan kepingan gambar-gambar akan kejadian diperpustakaan. Sekali lagi kulewati pohon depan kelasku. Menatapnya tuk terakhir kali dari ujung atasnya yang tak terlihat, dedaunannya yang hijau, batangnya yang kokoh dan gurat-gurat kulit kayu yang terlihat. 
"Mba.." suara seseorang menghentikan langkahku
Dari belakang pohon terlihat lelaki berkacamata itu setengah berlari. Seketika itu pula bayang akan Ryan yang berdiri didepan pohon muncul kembali. Ia kah Ryan yang dulu menatapku dibawah pohon?
Saat kujelajahi lelaki tersebut, bayang Ryan memang semakin terlihat. Meski tak lagi sekurus dahulu, tetapi tubuhnya masih saja kecil. Rambutnya kini tertata rapi dengan tatanan mengikuti jaman modern. Dan matanya masih saja tetap seperti dulu, memandangku dengan penuh kesungguhan hati. Ya, bola mata itu masih memancarkan ketajaman yang kurindukan. 

Sabtu, 06 September 2014

The Rubicae



Disadur dari L’artista (Wi Noya) yang dimuat Suara Merdeka pada Minggu, 24 Agustus 2014.

The Rubicae

Dia berbeda dari kaum lelaki yang begitu menggandrungi kopi. Hampir seluruh pelayan mengenalinya begitu ia memasuki The Rubicae. Pak dokter berkacamata, dengan tubuhnya yang kecil dan kurus, ditambah rambutnya yang sedikit beruban diatas telinganya. Favoritnya ada latte berhiaskan hati, yang tentu saja sudah dihafal oleh pelayan kafe ini. Kopi tak pernah sejernih air mineral, tak bisa setransparan teh apalagi seputih susu, demikian pengertian kopi baginya, Alexander.
Aku tak pernah melihatnya datang bersama seorang kawan, baik perempuan atau lelaki. Terkadang ia datang dihari Senin, Rabu, atau akhir pekan dan dengan pasti ia akan duduk disofa dekat jendela. Menonton aksi barista, menghampiri Natasya si pianis mingguan disudut lounge atau hanya sekedar membaca buku tebalnya. Ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya, mengapa ia betah berjam-jam menunggu lagu “La Vie en Rose” mengalun.***
Seringkali kudapati komentar elegan akan kafe ini, The Rubicae. Mungkin karena atapnya yang serupa kubah berhiaskan mozaik, ditambah sapuan cat marun yang selaras dengan lampu gantung yang berpijar keemasan. Terkadang jari-jari Natasya menambah suasa romantis saat menari diatas piano.
Termasuk pelanggan setia yang satu ini, ia baru saja masuk dan berjalan lambat seraya mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kafe. Saat matanya berhasil menemukan kedua mataku, langkahnya makin mantap mengarah tempatku bertugas.
“Selamat malam, Nona Juliet. Bagaimana kabarmu?” Aku tak tahu kapan ia mulai mengganti sapaan Anda padaku. Kami mulai dekat saat aku dengan percaya dirinya menyajikan langsung latte pesanannya. Dan kebetulan namaku mudah diingat baginya, layaknya tokoh dalam roman picisan Romeo dan Juliet.
“Ah, aku mulai bosan pada Romeo, aku bahkan berniat untuk mengkhianati cintanya” kutampakkan wajah sendu
Alexander tersenyum mendengar candaanku, dilepasnya kacamatanya yang sedikit berembun karena rintik gerimis. “aku mau secangkir latte bergambar sabit”
“Kau tak lagi jatuh cinta?”
“Mungkin, saat kau melupakan Romeomu itu”
Tak lagi kubalas ucapannya, aku sibuk dengan mesin kopi membuat pesannya. Kulihat ia serius memandangiku yang sedang mencurahkan susu dari corong stainless saat mencipta buih rosetta. Saat pesannya telah tersaji didepannya ia tersenyum semanis caramel. Dokter itu tak sadar tingkahnya membuat jantungku sedikit berdebar.
Ternyata pengetahuannya tentang kopi tak seperti yang kubayangkan. Ia bahkan paham kisah Kaldi sipenggembala di Ethiopia yang menemukan biji kopi. Alexander bahkan tahu seperti apa biji kopi Arabica, robusta, luwak, atau apapun itu. Ah, aku menyesal baru sekarang berjumpa dengan lelaki mempesona seperti Alexander.***
Entah sejak kapan Alexander mulai menyamakan jadwal kedatangannya dengan jadwalku. Terkadang kami bertukar cerita dan tertawa lepas, meski berpasang mata menatap kami penuh rasa curiga.
“Minggu ini Natasya cuti dan kami berniat memutar koleksi jazz lainnya, dan lagumu tak akan diputar”
Ia membelalakan bola matanya tak percaya.
“Kami mencoba sesuatu yang baru” kataku meyakinkannya.
“Aku bisa memainkannya untukmu, tentu kalau kau bersedia menunggu hingga kafe tutup” ucapku sembari berlaih pada mesin kopi Jura.
Alexander terdiam, tangannya mulai mengaduk kopi, denting perlahan terdengar dari peraduan sendok dan bibir gelas. Senyumnya mengembang tepat sebelum ia menyeruput sisa lattenya.***
“Silahkan, sebuah hadiah dariku” Kosodorkan segelas kopi dingin, karena ia menepati janjinya menemaniku hingga kafe tutup. The Rubicae kini telah tutup, tak ada pengunjung, tak ada alunan musik, tak ada celotehan pelayan dan barista. Hanya ada aku dan Alexander.
Perlahan kumainkan piano yang biasanya dipegang Natasya. Meski tak selihai pianis itu, tapi aku yakin penampilanku tak begitu buruk. Alexander menatapku, menikmati tarian jariku yang lincah diatas tuts piano, terkadang terlihat ia ikut menyanyikan lagunya.
Quand il me prend dans ses bras
Il me parle tout bas
Je vois la vie en rose
Dan akhirnya tepuk tangannya bergema mengiring akhir lagu tersebut. Ia tersenyum menatapku yang sedang menghampiri mejanya.
“Tak terlalu buruk bukan”
“Harusnya kau belajar bermain piano daripada menjadi seorang barista. Bukankah kau tak mendalami ilmu meracik kopi itu”
“Aku kenal pemiliknya, dan saat itu ia membutuhkan tenaga peracik kopi, meski tanpa pengetahuan”ucapku penuh kebanggaan.
“Kau tak berniat mengenalkan pelanggan setia The Rubicae padanya”
“Ia orang yang tak pandai bergaul, kau tak akan suka”
“Kau takut aku jatuh hati padanya?”
“Hah, tentu saja tidak” tepisku mengalihkan pandangan “lagipula ia sudah memiliki kekasih”
“Kekasih” ia tertawa lirih
“Kau sendiri? Kurasa seorang dokter yang tampan tentu saja mempunyai segerombolan fans”
Alexander terdiam, ia membalas pandanganku, matanya seakan mencari sesuatu didalam kedua mataku.
“Dua tahun lalu, hampir ada cincin yang melingkar dijari manis ini” ia memperlihatkan jari manisnya yang terlihat kerempeng. “Tunanganku seorang pramugari, dua bulan sebelum pernikahan ia melakukan penerbangan tuk terakhir kalinya. Sayang pesawatnya jatuh ke Samudra Pasifik, tak ada yang pernah diketemukan”
“La Vie en Rose?” tanyaku semakin penasaran
“Lagu favoritnya, ia bilang Prancis adalah hal yang paling romantis. Ia penggemar kopi, dari biji arabika, robusta, luwak apapun itu ia menyimpannya. Aku menyesal dulu tak pernah menemaninya minum kopi favoritnya, latte” ungkap Alexander sedikit menyeruput icepressonya.
“Kau terus mencari kenangannya?”
“Menyakitkan untuk melupakannya, aku sudah mencoba tapi semua sia-sia. Entah mengapa aku terpikir untuk terus mengingatnya, mengenang kepedihannya, hingga semuanya membosankan dan nantinya tak akan kurasakan apapun”
Tangan Alexander gemeter, membuatku memberanikan menggenggamnya. Akal sehatku mulai kabur.
“Kenangan memang tak akan pernah bisa kita hapus. Namun, bukankah ada dua pilihan? Mengabaikannya dalam sudut memori atau menciptakan kenangan baru”
Alexander mencoba tertawa mendengar nasihatku. Aku berhenti berkata, hanya memandanginya. Suara tawanya beradu dengan seruputan kopi yang mulai surut. Ia terhenti saat mendengar bunyi kerontang, menyisakan batu-batu es. Segelas kopi yang tandas itu seakan menyiratkan hatinya yang tengah berkecamuk dengan masa lalunya.***
“KAULAH satu-satunya alasanku datang ke The Rubicae. Kaulah yang kuharapkan menjadi kenangan baru” tutupnya diujung obrolan kami.
Aku berusaha mengendalikan diri, setelah setangkai mawar tak lagi dapat kukuasai. Bunga perlambang cinta itu terjatuh tepat diatas marmer kelabu, seakan mengejekku yang berulah bak pengecut.
Aku bangkit, tak lagi mampu kubalas tatapan Alexander, perlahan setetes penyesalan mulai tergambar dihatiku. Kulihat Alexander perlahan mengikutiku bangkit dari duduknya dan mulai melangkah menuju pintu. Lekas kupakai mantelku dan meninggalkan The Rubicae yang kian sunyi, hanya terlihat punggung laki-laki penikmat latte tersebut kian mengecil, semakin jauh meninggalkanku dan The Rubicae.
Seutuhnya adalah kesalahku, membawanya bernostalgia dengan masa lalunya semenentara aku tak bisa menjadi penghibur yang baik. Membiarkanku melihat sisi gelap hatinya, sementara aku tak kan pernah bisa menyinari ruang itu dengan cintaku. Semoga Tuhan tak mempertemukan kami dalam ruang dan waktu dimasa depan. Sungguh aku berharap Alexander tak memberi kesempatan untukku mengisi secuil ruang dihatinya.
Andai waktu bisa kuundurkan, setahun saja, aku rela kehilangan semua, rekan, bakat meramu kopik, bahkan jati diri. Sebab, The Rubicae, kedai kopi tempat kami bersama adalah milik laki-laki yang lebih dulu menerangi hatiku dan menuntut sebuah kesetian.*** *** ***