Sabtu, 06 September 2014

The Rubicae



Disadur dari L’artista (Wi Noya) yang dimuat Suara Merdeka pada Minggu, 24 Agustus 2014.

The Rubicae

Dia berbeda dari kaum lelaki yang begitu menggandrungi kopi. Hampir seluruh pelayan mengenalinya begitu ia memasuki The Rubicae. Pak dokter berkacamata, dengan tubuhnya yang kecil dan kurus, ditambah rambutnya yang sedikit beruban diatas telinganya. Favoritnya ada latte berhiaskan hati, yang tentu saja sudah dihafal oleh pelayan kafe ini. Kopi tak pernah sejernih air mineral, tak bisa setransparan teh apalagi seputih susu, demikian pengertian kopi baginya, Alexander.
Aku tak pernah melihatnya datang bersama seorang kawan, baik perempuan atau lelaki. Terkadang ia datang dihari Senin, Rabu, atau akhir pekan dan dengan pasti ia akan duduk disofa dekat jendela. Menonton aksi barista, menghampiri Natasya si pianis mingguan disudut lounge atau hanya sekedar membaca buku tebalnya. Ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya, mengapa ia betah berjam-jam menunggu lagu “La Vie en Rose” mengalun.***
Seringkali kudapati komentar elegan akan kafe ini, The Rubicae. Mungkin karena atapnya yang serupa kubah berhiaskan mozaik, ditambah sapuan cat marun yang selaras dengan lampu gantung yang berpijar keemasan. Terkadang jari-jari Natasya menambah suasa romantis saat menari diatas piano.
Termasuk pelanggan setia yang satu ini, ia baru saja masuk dan berjalan lambat seraya mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kafe. Saat matanya berhasil menemukan kedua mataku, langkahnya makin mantap mengarah tempatku bertugas.
“Selamat malam, Nona Juliet. Bagaimana kabarmu?” Aku tak tahu kapan ia mulai mengganti sapaan Anda padaku. Kami mulai dekat saat aku dengan percaya dirinya menyajikan langsung latte pesanannya. Dan kebetulan namaku mudah diingat baginya, layaknya tokoh dalam roman picisan Romeo dan Juliet.
“Ah, aku mulai bosan pada Romeo, aku bahkan berniat untuk mengkhianati cintanya” kutampakkan wajah sendu
Alexander tersenyum mendengar candaanku, dilepasnya kacamatanya yang sedikit berembun karena rintik gerimis. “aku mau secangkir latte bergambar sabit”
“Kau tak lagi jatuh cinta?”
“Mungkin, saat kau melupakan Romeomu itu”
Tak lagi kubalas ucapannya, aku sibuk dengan mesin kopi membuat pesannya. Kulihat ia serius memandangiku yang sedang mencurahkan susu dari corong stainless saat mencipta buih rosetta. Saat pesannya telah tersaji didepannya ia tersenyum semanis caramel. Dokter itu tak sadar tingkahnya membuat jantungku sedikit berdebar.
Ternyata pengetahuannya tentang kopi tak seperti yang kubayangkan. Ia bahkan paham kisah Kaldi sipenggembala di Ethiopia yang menemukan biji kopi. Alexander bahkan tahu seperti apa biji kopi Arabica, robusta, luwak, atau apapun itu. Ah, aku menyesal baru sekarang berjumpa dengan lelaki mempesona seperti Alexander.***
Entah sejak kapan Alexander mulai menyamakan jadwal kedatangannya dengan jadwalku. Terkadang kami bertukar cerita dan tertawa lepas, meski berpasang mata menatap kami penuh rasa curiga.
“Minggu ini Natasya cuti dan kami berniat memutar koleksi jazz lainnya, dan lagumu tak akan diputar”
Ia membelalakan bola matanya tak percaya.
“Kami mencoba sesuatu yang baru” kataku meyakinkannya.
“Aku bisa memainkannya untukmu, tentu kalau kau bersedia menunggu hingga kafe tutup” ucapku sembari berlaih pada mesin kopi Jura.
Alexander terdiam, tangannya mulai mengaduk kopi, denting perlahan terdengar dari peraduan sendok dan bibir gelas. Senyumnya mengembang tepat sebelum ia menyeruput sisa lattenya.***
“Silahkan, sebuah hadiah dariku” Kosodorkan segelas kopi dingin, karena ia menepati janjinya menemaniku hingga kafe tutup. The Rubicae kini telah tutup, tak ada pengunjung, tak ada alunan musik, tak ada celotehan pelayan dan barista. Hanya ada aku dan Alexander.
Perlahan kumainkan piano yang biasanya dipegang Natasya. Meski tak selihai pianis itu, tapi aku yakin penampilanku tak begitu buruk. Alexander menatapku, menikmati tarian jariku yang lincah diatas tuts piano, terkadang terlihat ia ikut menyanyikan lagunya.
Quand il me prend dans ses bras
Il me parle tout bas
Je vois la vie en rose
Dan akhirnya tepuk tangannya bergema mengiring akhir lagu tersebut. Ia tersenyum menatapku yang sedang menghampiri mejanya.
“Tak terlalu buruk bukan”
“Harusnya kau belajar bermain piano daripada menjadi seorang barista. Bukankah kau tak mendalami ilmu meracik kopi itu”
“Aku kenal pemiliknya, dan saat itu ia membutuhkan tenaga peracik kopi, meski tanpa pengetahuan”ucapku penuh kebanggaan.
“Kau tak berniat mengenalkan pelanggan setia The Rubicae padanya”
“Ia orang yang tak pandai bergaul, kau tak akan suka”
“Kau takut aku jatuh hati padanya?”
“Hah, tentu saja tidak” tepisku mengalihkan pandangan “lagipula ia sudah memiliki kekasih”
“Kekasih” ia tertawa lirih
“Kau sendiri? Kurasa seorang dokter yang tampan tentu saja mempunyai segerombolan fans”
Alexander terdiam, ia membalas pandanganku, matanya seakan mencari sesuatu didalam kedua mataku.
“Dua tahun lalu, hampir ada cincin yang melingkar dijari manis ini” ia memperlihatkan jari manisnya yang terlihat kerempeng. “Tunanganku seorang pramugari, dua bulan sebelum pernikahan ia melakukan penerbangan tuk terakhir kalinya. Sayang pesawatnya jatuh ke Samudra Pasifik, tak ada yang pernah diketemukan”
“La Vie en Rose?” tanyaku semakin penasaran
“Lagu favoritnya, ia bilang Prancis adalah hal yang paling romantis. Ia penggemar kopi, dari biji arabika, robusta, luwak apapun itu ia menyimpannya. Aku menyesal dulu tak pernah menemaninya minum kopi favoritnya, latte” ungkap Alexander sedikit menyeruput icepressonya.
“Kau terus mencari kenangannya?”
“Menyakitkan untuk melupakannya, aku sudah mencoba tapi semua sia-sia. Entah mengapa aku terpikir untuk terus mengingatnya, mengenang kepedihannya, hingga semuanya membosankan dan nantinya tak akan kurasakan apapun”
Tangan Alexander gemeter, membuatku memberanikan menggenggamnya. Akal sehatku mulai kabur.
“Kenangan memang tak akan pernah bisa kita hapus. Namun, bukankah ada dua pilihan? Mengabaikannya dalam sudut memori atau menciptakan kenangan baru”
Alexander mencoba tertawa mendengar nasihatku. Aku berhenti berkata, hanya memandanginya. Suara tawanya beradu dengan seruputan kopi yang mulai surut. Ia terhenti saat mendengar bunyi kerontang, menyisakan batu-batu es. Segelas kopi yang tandas itu seakan menyiratkan hatinya yang tengah berkecamuk dengan masa lalunya.***
“KAULAH satu-satunya alasanku datang ke The Rubicae. Kaulah yang kuharapkan menjadi kenangan baru” tutupnya diujung obrolan kami.
Aku berusaha mengendalikan diri, setelah setangkai mawar tak lagi dapat kukuasai. Bunga perlambang cinta itu terjatuh tepat diatas marmer kelabu, seakan mengejekku yang berulah bak pengecut.
Aku bangkit, tak lagi mampu kubalas tatapan Alexander, perlahan setetes penyesalan mulai tergambar dihatiku. Kulihat Alexander perlahan mengikutiku bangkit dari duduknya dan mulai melangkah menuju pintu. Lekas kupakai mantelku dan meninggalkan The Rubicae yang kian sunyi, hanya terlihat punggung laki-laki penikmat latte tersebut kian mengecil, semakin jauh meninggalkanku dan The Rubicae.
Seutuhnya adalah kesalahku, membawanya bernostalgia dengan masa lalunya semenentara aku tak bisa menjadi penghibur yang baik. Membiarkanku melihat sisi gelap hatinya, sementara aku tak kan pernah bisa menyinari ruang itu dengan cintaku. Semoga Tuhan tak mempertemukan kami dalam ruang dan waktu dimasa depan. Sungguh aku berharap Alexander tak memberi kesempatan untukku mengisi secuil ruang dihatinya.
Andai waktu bisa kuundurkan, setahun saja, aku rela kehilangan semua, rekan, bakat meramu kopik, bahkan jati diri. Sebab, The Rubicae, kedai kopi tempat kami bersama adalah milik laki-laki yang lebih dulu menerangi hatiku dan menuntut sebuah kesetian.*** *** ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar