Disadur dari L’artista (Wi Noya) yang dimuat Suara Merdeka pada
Minggu, 24 Agustus 2014.
The Rubicae
Dia berbeda dari kaum lelaki yang begitu
menggandrungi kopi. Hampir seluruh pelayan mengenalinya begitu ia memasuki The
Rubicae. Pak dokter berkacamata, dengan tubuhnya yang kecil dan kurus, ditambah
rambutnya yang sedikit beruban diatas telinganya. Favoritnya ada latte
berhiaskan hati, yang tentu saja sudah dihafal oleh pelayan kafe ini. Kopi tak
pernah sejernih air mineral, tak bisa setransparan teh apalagi seputih susu,
demikian pengertian kopi baginya, Alexander.
Aku tak pernah melihatnya datang bersama
seorang kawan, baik perempuan atau lelaki. Terkadang ia datang dihari Senin,
Rabu, atau akhir pekan dan dengan pasti ia akan duduk disofa dekat jendela.
Menonton aksi barista, menghampiri Natasya si pianis mingguan disudut lounge
atau hanya sekedar membaca buku tebalnya. Ada satu hal yang membuatku
bertanya-tanya, mengapa ia betah berjam-jam menunggu lagu “La Vie en Rose”
mengalun.***
Seringkali kudapati komentar elegan akan kafe
ini, The Rubicae. Mungkin karena atapnya yang serupa kubah berhiaskan mozaik,
ditambah sapuan cat marun yang selaras dengan lampu gantung yang berpijar
keemasan. Terkadang jari-jari Natasya menambah suasa romantis saat menari diatas
piano.
Termasuk pelanggan setia yang satu ini, ia
baru saja masuk dan berjalan lambat seraya mengedarkan pandangannya keseluruh
penjuru kafe. Saat matanya berhasil menemukan kedua mataku, langkahnya makin
mantap mengarah tempatku bertugas.
“Selamat malam, Nona Juliet. Bagaimana
kabarmu?” Aku tak tahu kapan ia mulai mengganti sapaan Anda padaku. Kami mulai
dekat saat aku dengan percaya dirinya menyajikan langsung latte pesanannya. Dan
kebetulan namaku mudah diingat baginya, layaknya tokoh dalam roman picisan
Romeo dan Juliet.
“Ah, aku mulai bosan pada Romeo, aku bahkan
berniat untuk mengkhianati cintanya” kutampakkan wajah sendu
Alexander tersenyum mendengar candaanku,
dilepasnya kacamatanya yang sedikit berembun karena rintik gerimis. “aku mau
secangkir latte bergambar sabit”
“Kau tak lagi jatuh cinta?”
“Mungkin, saat kau melupakan Romeomu itu”
Tak lagi kubalas ucapannya, aku sibuk dengan
mesin kopi membuat pesannya. Kulihat ia serius memandangiku yang sedang
mencurahkan susu dari corong stainless saat mencipta buih rosetta. Saat
pesannya telah tersaji didepannya ia tersenyum semanis caramel. Dokter itu tak
sadar tingkahnya membuat jantungku sedikit berdebar.
Ternyata pengetahuannya tentang kopi tak
seperti yang kubayangkan. Ia bahkan paham kisah Kaldi sipenggembala di Ethiopia
yang menemukan biji kopi. Alexander bahkan tahu seperti apa biji kopi Arabica,
robusta, luwak, atau apapun itu. Ah, aku menyesal baru sekarang berjumpa dengan
lelaki mempesona seperti Alexander.***
Entah sejak kapan Alexander mulai menyamakan jadwal
kedatangannya dengan jadwalku. Terkadang kami bertukar cerita dan tertawa
lepas, meski berpasang mata menatap kami penuh rasa curiga.
“Minggu ini Natasya cuti dan kami berniat
memutar koleksi jazz lainnya, dan lagumu tak akan diputar”
Ia membelalakan bola matanya tak percaya.
“Kami mencoba sesuatu yang baru” kataku
meyakinkannya.
“Aku bisa memainkannya untukmu, tentu kalau
kau bersedia menunggu hingga kafe tutup” ucapku sembari berlaih pada mesin kopi
Jura.
Alexander terdiam, tangannya mulai mengaduk
kopi, denting perlahan terdengar dari peraduan sendok dan bibir gelas.
Senyumnya mengembang tepat sebelum ia menyeruput sisa lattenya.***
“Silahkan, sebuah hadiah dariku” Kosodorkan
segelas kopi dingin, karena ia menepati janjinya menemaniku hingga kafe tutup.
The Rubicae kini telah tutup, tak ada pengunjung, tak ada alunan musik, tak ada
celotehan pelayan dan barista. Hanya ada aku dan Alexander.
Perlahan kumainkan piano yang biasanya
dipegang Natasya. Meski tak selihai pianis itu, tapi aku yakin penampilanku tak
begitu buruk. Alexander menatapku, menikmati tarian jariku yang lincah diatas
tuts piano, terkadang terlihat ia ikut menyanyikan lagunya.
Quand il me
prend dans ses bras
Il me parle
tout bas
Je vois la
vie en rose
Dan akhirnya tepuk tangannya bergema
mengiring akhir lagu tersebut. Ia tersenyum menatapku yang sedang menghampiri
mejanya.
“Tak terlalu buruk bukan”
“Harusnya kau belajar bermain piano daripada
menjadi seorang barista. Bukankah kau tak mendalami ilmu meracik kopi itu”
“Aku kenal pemiliknya, dan saat itu ia
membutuhkan tenaga peracik kopi, meski tanpa pengetahuan”ucapku penuh
kebanggaan.
“Kau tak berniat mengenalkan pelanggan setia
The Rubicae padanya”
“Ia orang yang tak pandai bergaul, kau tak
akan suka”
“Kau takut aku jatuh hati padanya?”
“Hah, tentu saja tidak” tepisku mengalihkan
pandangan “lagipula ia sudah memiliki kekasih”
“Kekasih” ia tertawa lirih
“Kau sendiri? Kurasa seorang dokter yang
tampan tentu saja mempunyai segerombolan fans”
Alexander terdiam, ia membalas pandanganku,
matanya seakan mencari sesuatu didalam kedua mataku.
“Dua tahun lalu, hampir ada cincin yang
melingkar dijari manis ini” ia memperlihatkan jari manisnya yang terlihat
kerempeng. “Tunanganku seorang pramugari, dua bulan sebelum pernikahan ia melakukan
penerbangan tuk terakhir kalinya. Sayang pesawatnya jatuh ke Samudra Pasifik,
tak ada yang pernah diketemukan”
“La Vie en Rose?” tanyaku semakin penasaran
“Lagu favoritnya, ia bilang Prancis adalah
hal yang paling romantis. Ia penggemar kopi, dari biji arabika, robusta, luwak
apapun itu ia menyimpannya. Aku menyesal dulu tak pernah menemaninya minum kopi
favoritnya, latte” ungkap Alexander sedikit menyeruput icepressonya.
“Kau terus mencari kenangannya?”
“Menyakitkan untuk melupakannya, aku sudah
mencoba tapi semua sia-sia. Entah mengapa aku terpikir untuk terus
mengingatnya, mengenang kepedihannya, hingga semuanya membosankan dan nantinya
tak akan kurasakan apapun”
Tangan Alexander gemeter, membuatku
memberanikan menggenggamnya. Akal sehatku mulai kabur.
“Kenangan memang tak akan pernah bisa kita
hapus. Namun, bukankah ada dua pilihan? Mengabaikannya dalam sudut memori atau
menciptakan kenangan baru”
Alexander mencoba tertawa mendengar
nasihatku. Aku berhenti berkata, hanya memandanginya. Suara tawanya beradu
dengan seruputan kopi yang mulai surut. Ia terhenti saat mendengar bunyi
kerontang, menyisakan batu-batu es. Segelas kopi yang tandas itu seakan
menyiratkan hatinya yang tengah berkecamuk dengan masa lalunya.***
“KAULAH satu-satunya alasanku datang ke The
Rubicae. Kaulah yang kuharapkan menjadi kenangan baru” tutupnya diujung obrolan
kami.
Aku berusaha mengendalikan diri, setelah
setangkai mawar tak lagi dapat kukuasai. Bunga perlambang cinta itu terjatuh
tepat diatas marmer kelabu, seakan mengejekku yang berulah bak pengecut.
Aku bangkit, tak lagi mampu kubalas tatapan
Alexander, perlahan setetes penyesalan mulai tergambar dihatiku. Kulihat Alexander
perlahan mengikutiku bangkit dari duduknya dan mulai melangkah menuju pintu. Lekas
kupakai mantelku dan meninggalkan The Rubicae yang kian sunyi, hanya terlihat
punggung laki-laki penikmat latte tersebut kian mengecil, semakin jauh
meninggalkanku dan The Rubicae.
Seutuhnya adalah kesalahku, membawanya
bernostalgia dengan masa lalunya semenentara aku tak bisa menjadi penghibur
yang baik. Membiarkanku melihat sisi gelap hatinya, sementara aku tak kan
pernah bisa menyinari ruang itu dengan cintaku. Semoga Tuhan tak mempertemukan
kami dalam ruang dan waktu dimasa depan. Sungguh aku berharap Alexander tak
memberi kesempatan untukku mengisi secuil ruang dihatinya.
Andai waktu bisa kuundurkan, setahun saja,
aku rela kehilangan semua, rekan, bakat meramu kopik, bahkan jati diri. Sebab,
The Rubicae, kedai kopi tempat kami bersama adalah milik laki-laki yang lebih
dulu menerangi hatiku dan menuntut sebuah kesetian.*** *** ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar