Rabu, 20 Agustus 2014

Wonderful Indonesia:Raja Ampat Sihir Laut Indonesia

Tulisan ini diikutkan dalam kompetisi penulisan blog dan foto dalam rangka Sail Raja Ampat 2014. Lebih lanjut di www.indonesia.travel

Raja Ampat. Siapa yang tak mengenal kepulauan yang bahkan sanggup menggoda para turis asing. Julukan bagi 4 pulau utama, Waigeo, Salawati, Batanta dan Misool. Raja Ampat merupakan salah satu kabupaten dari Provinsi Papua Barat yang memiliki wilayah 46.108km2 dan 80% diantaranya adalah laut. Sementara dari 610 pulau yang ada hanya dihuni sekitar 35 pulau saja dengan 60.000 jiwa. Raja Ampat rumah bagi biota laut, lebih dari 540 jenis terumbu karang, 1.511 spesies ikan, 700 jenis moluska dan binatang laut lain menjadi penghuninya. Menurut laporan dari The Nature Conservancy dan Conservation International ada sekitar 75% spesies laut dunia yang tinggal di laut Raja Ampat.
 
Mungkin tidak seluruh rakyat Indonesia akan pernah sanggup datang ke Raja Ampat yang sudah menggema didunia pariwisata internasional. Sejauh ini dominasi pengunjung yang datang ke Raja Ampat adalah turis asing, dan hanya segelintir yang merupakan wisatawan lokal. Faktor mahalnya biaya perjalanan menuju Raja Ampat adalah salah satu hal yang mempengaruhi sedikitnya kunjungan wisatawan lokal. Bayangkan saja hanya untuk berkunjung paling tidak kita harus mengantongi 25 – 30 juta. Sungguh biaya yang tak bisa dibilang murah..
Seandainya saja bisa kesini, pastilah sebuah impian yang sangat besar. Sepertinya kita akan disambut oleh ombak yang meyentuh lembut pasir putih, jernihnya perairan Raja Ampat yang sebening kristal, hembusan angin yang menyapa setiap insan, dedaunan yang seakan mengajak kita menari, dan sinar matahari yang tak pernah berhenti tuk menyinari. Mungkin akan ada pula tarian khas Papua, untaian bunga yang akan dikalungkan atau kelapa muda sebagai minuman penyambut tamu. Atau kita akan langsung disuguhi makanan tradisional, seperti papeda (bubur sagu) lengkap dengan ikan bumbu kuning dan sambalnya, atau cacing ulat goreng dan sate ulat sagu yang tak terbayang bagaimana rasanya.
 
Belum lagi ucapan selamat datang dari biota laut yang beraneka jenis. Saat kita menyelam mungkin akan kita akan disapa kuda laut katai, ikan pari manta, wobbegong dan ikan – ikan indah lainnya. Atau bahkan mungkin akan ada ikan tuna, giant trevaliies, snapper, barracuda atau bahkan bila beruntung seekor penyu laut bisa bergabung menemani kita menyelam dikeindahan terumbu karang Raja Ampat. Inikah sepotong kota Atlantis yang hilang tersebut?
 

Tak hanya kehidupan bawah lautnya yang sangat mempesona. Gugusan pulau kecil Raja Ampat pun menyimpan kekuatan yang seakan memanggil kita untuk berkunjung. Kepulauan Wayang dibagian barat Raja Ampat adalah gugusan pulau kecil Karst yang jangan pernah dilewatkan saat berkunjung kemari. Demikian pula desa Sawingrrai dan Painemo, kita akan dapat melihat burung cendrawasih, belah rotan, dan cendrawasih besar yang hinggap dipohon. Hamparan hutan yang masih alami, flora dan fauna yang masih terjaga, berpadu dengan keramahan penduduk lokal adalah penambah keindahan Raja Ampat.

 

Seperti halnya wilayah Papua yang lain Raja Ampat dihuni oleh berbagai suku asli. Suku Wawiyai, Suku Kawe, Suku Layangan, Suku Moi, Suku Batantan, Suku Biak dan lainnya. Dari suku – suku yang beragam inilah yang melahirkan budaya – budaya yang sampai sekarang tak pernah dilepas dari masyarakat Raja Ampat.

Sasi, merupakan budaya dari aturan tak tertulis masyarakat Raja Ampat mengenai penutupan satu kawasan/dusun untuk menjaga kelestarian ekosistem alamnya dalam jangka waktu tertentu. Tak hanya hutan, tetapi berlaku juga pada kawasan laut, hal ini bertujuan uttuk menjaga keseimbangan hidup hewan laut dari eksploitasi secara sembarangan dan memberikan ruang untuk berkembang biak dengan lebih baik. Sasi adalah warisan budaya dari raja – raja terdahulu di Raja Ampat yang terus dijaga, bahkan kini sudah diterima secara luas dipesisir pantai dari Kepulauan Raja Ampat hingga Maluku dan Sulawesi. 
 

Budaya lain yang tergambar dengan jelas adalah berupa tarian dan lagu. Ciri umum dari tarian Papua adalah tarian yang bersemangat dan diiringi alat musik perkusi khas Papua seperti Tifa, gong(Mambolon), tambur(Bakulu) dan alat tiup dari kerang laut. Sementara lagunya pun kebanyakan bernuansa riang dan umumnya dinyanyikan dengan perpaduan suara vokal lebih dari satu orang. Tari dan lagu yang khas yang akan dikenalkan pada setiap generasi suku – suku dan tak akan pernah hilang karena peralihan jaman.

Noken. Tas multifungsi yang digunakan secara turun temurun sejak nenek moyang hingga sekarang. Sebuah bentuk budaya yang dibuat dari serat kulit kayu pohon Manduam, Nawa/ Anggrek hutan yang dianyam dan dirajut menjadi bentuk tas gantung. Digunakan untuk membawa hasil pertanian dan barang dagangan kepasar. Digunakan dengan cara dikaitkan dan digantungkan dikepala bagian depan (jidat) dengan mengalungkan kearah belakang punggung. Noken, tas gantung khas Papua yang sudah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO.

Budaya yang timbul karena keragaman suku yang bertujuan untuk menjaga kelestarian alam, membangun hubungan dengan sesama suku lain, mempermudah kehidupan suku tersebut tanpa meninggalkan adat istiadat yang sudah terjalankan sejak ratusan tahun yang lalu.


Bentuk kerarifan lokal yang menyebabkan para wisatawan berdatangan adalah keramahan dari penduduk Raja Ampat. Penduduk setempat yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai nelayan adalah orang yang ramah. Apalagi bila ada seorang tamu/ wisatawan yang memberikan mereka buah pinang/permen. Maka akan dibalas dengan segurat senyum yang tulus dan perbincangan yang ramah. Sudah menjadi budaya di Raja Ampat, mereka memakan camilan saat bercakap – cakap (Para para pinang) saling bertukar cerita sambil mengunyah buah pinang maupun permen. 
Selain itu juga terlihat dari perlakuan mereka ketika menangkap hasil laut. Mereka masih menggunakan kalawai/penikam sebagai alat tradisional. Atau dengan cara molo yaitu alat senapan yang dirancang khusus untuk menembak ikan yang terbuat dari kayu dan kawat sebagai penikam yang dilontarkan dari senapan.  Bahkan ada yang memancing dengan kail tanpa umpan yang sering disebut bacigi, cara ini digunakan hanya saat malam hari dan hanya mengandalkan lampu gas (petromaks). Cara – cara menangkap ikan tanpa merusak alam inilah salah satu kearifan lokal yang terus saja dijaga oleh warga Raja Ampat. Mereka sadar akan cara tradisional yang ramah lingkungan dan tak membahayakan kelestarian alam semesta.

Pantai dan laut yang indah di Raja Ampat kini disiapkan sebagai tujuan wisata yang juga didukung pemerintah. Dan kearifan lokal rakyat Raja Ampat adalah salah satu cara untuk menjaga kelestarian keragaman biota laut diwilayah mereka. Ditambah warisan budaya yang masih terus dipegang teguh hingga generasi sekarang menjadi daya pikat tersendiri bagi Raja Ampat.

Dan seandainya berkesempatan mengunjungi Raja Ampat, maka pilihlah bulan September hingga Mei, karena itulah waktu ideal untuk berkunjung tanpa dihalangi angin kencang dan ombang yang bisa mencapai ketinggian 4 meter. Dan jangan salah mulut yang mungkin akan terus mengucapkan pujian bagi Sang Pencipta atau mata yang tak mau terpejam karena pesona Raja Ampat yang memukau. Karena inilah Raja Ampat, warisan hayati laut yang takkan pernah habis keindahan bawah lautnya, yang berada tepat di jantung Segitiga Terumbu Karang dan diujung barat laut Papua Barat, INDONESIA.



Senin, 18 Agustus 2014

Sepotong cerita dari Sebuah Pekarangan



Siang itu, meski matahari tengah panas membara, sementara angin kemarau mulai mengudara, entah mengapa mata dan kaki malah tertuju pada pekarangan sekaligus kebun disamping rumah. Seakan berharap ada sedikit cerita yang kan didapat dari sebidang tanah yang tak terpakai tersebut. Maka dimulailah langkah dan bidikan kamera pada beberapa sudut yang nampaknya mulai ditinggalkan sang pemilik lahan.

Seekor belalang menyambutku didepan pagar, dia baru saja hingga didaum ketika aku melangkah masuk. Mungkin ia hendak mencari tempat berteduh ditengah siang yang hari yang terasa sangat panas.
 


pisang yang masih lengkap dengan jantungnya

Pisang, pepaya, markisa, pohon buah itu masih terasa sama. Masih saja berdaun hijau, dan kemudian mengandung buahnya yang siap untuk dinikmati manusia.  


Dan kemudian ..
Semua menjadi tak berguna lagi, daun - daun menjadi layu menguning, buah terlalu matang hingga berbuah menjadi busuk. Mereka terlupakan oleh sang pemilik. Hasil mereka tak sempat tuk digunakan dalam kehidupan manusia
Dan berakhir pada kematian, ranting dan batang pohon pun hampir mati. Kering, tanpa daun, hanya menyisakan segurat ranting yang mudah patah. Tak lagi ada daun, apalagi buah, tak ada lagi proses fotosintesis hanya menunggu dicabutnya dari tanah atau perlahan mati karena waktu.


Sesaat itulah aku tersadar, mungkin manusia juga mengalami kehidupan yang sama dengan sudut pekarangan ini. Awal kehidupan layaknya tanaman yang masih hijau, perlahan muncul bunga dan buah kecil dipohonnya. Kemudian bunga itu makin membesar dan makin bermanfaat bagi yang lain, demikian pula seorang manusia, ketika semakin dewasa, maka dia akan semakin berguna bagi manusia yang lain. Dan perjalanan itu berubah pada proses penuaan, layaknya ranting dan batang yang mengering, demikian pula manusia yang akan semakin rapuh karena menjadi tua... Inikah perjalanan manusia atau hanya sepotong cerita dari pekarangan saja..

bunga ungu, tangkai merah, daun hijau, dan sinar matahari

Rabu, 06 Agustus 2014

Hilang Arah

 
Kehilangan itu adalah bagian dari hidup yang tak bisa dilepaskan. Suatu ketika mungkin dimulai dari kehilangan buku, dilain ruang waktu mungkin kita kehilangan benda yang berharga, dan dilain sisi tempat mungkin kehilangan sosok teman, atau salah satu yang paling menyesakkan hati adalah kehilangan saudara dan orang tua. Kehilangan itu berarti kita tak bisa memilikinya lagi, tak bisa melihatnya lagi, tak bisa merasakannya lagi, dan tak bisa kita dapatkan manfaatnya lagi. 
Beberapa minggu terakhir sangat terasa akan kehilangan arahku. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi dalam hidupku sendiri. Dimulai dari rasa bosannya terhadap pekerjaan, mencoba tuk berjalan sendiri dan menjalankan impian dan pada akhirnya terhempas dari pegangan dan terjatuh pada dasar yang gelap. Pada kehilangan arah ini, kurasakan kembali pertanyaan mendasar pada diriku sendiri. Sanggupkah bermimpi setinggi langit sementara hanya mampu berdiri diujung desa??

  

Awalnya arahku itu menuju kearah A, ditengah jalan aku  melihat persimpangan B dan D, ditengah persimpangan tersebut kupilih arah D karena kupikir jalannya akan lebih dekat dengan arah. Namun ternyata jalannya pun susah dilalui, ternyata ada beberapa tanjakan dan kelokan yang tajam. Sempat terpikir untuk berbalik arah dan memilih persimpangan B, tapi itu berarti aku harus mundur dari langkah ini dan kembali merasakan perjalanan dijalan D.
Mata dan hatiku masih tertuju pada arah A, namun dari ujung jalan D ini kulihat beberapa persimpangan lagi. Kanan, kiri dan tengah. Inilah minggu - minggu yang berat, aku masih saja terdiam diujung jalan, hanya menikmati angin yang makin dingin, matahari yang terbit dan tenggelam tanpa ada langkah pasti. Ya, aku hanya berdiam diri,,


Arah A masih menjadi impian yang selamanya mengisi sedikit ruang dihati. Meski entah kapan dapat kulanjutkan, tapi aku tetap yakin arah A adalah fokus dan impian. Sekarang diujung jalan ini, berada dipersimpangan ini, kembali kutata lembaran langkah, kembali kusiapkan kaki dan tangan tuk memanjat jurang yang mulai terlihat sepi ini. Akankah kuberhasil melewati jurangnya, hanyalah Tuhan yang tahu. Tugasku adalah terus melangkah.
Dan tugasku kian berat saat kulihat alunan waktu tak mengikuti berhenti melangkah. Kulihat jarum waktu itu terus berputar mengikuti langkah matahari... Aku harus bergegas, kembali pada jalan yang penuh persimpangan itu dan memilih salah satu, berharap itu yang terbaik. Ada dua resiko saat aku melangkah dan mengambil salah satu persimpangan. Kembali menemui jalan yang salah. Atau. Berada dijalur yang benar...