Tak habis pandanganku pada sudut sekolah itu. Tepat berada ujung deretan ruang Kepala Sekolah, TU dan perpustakaan. Dan ruang-ruang kelas kejuruan yang setiap hari berbeda seragam. Diruang yang akan sepi bila jam pelajaran sedang berjalan dan akan ramai lalu lalang murid saat bunyi istirahat telah berunyi.
Disudut itulah tersimpan secuil memori yang mungkin tak kan terhapus. Hanya akan sedikit terlupakan dan akan kembali bila muncul sang pemicunya. Tertumpuk oleh kenangan dan kejadian yang terus bertambah. Menjadi kenangan paling belakang yang ada dalam ingatan.
Sekilas kulemparkan pandangan pada koridor depan ruang kelas. Terasa berbeda meski terkesan masih sama. Panjangnya masih sama, cat temboknya telah berbeda. Jumlah ruang dan kegunaannya masihlah sama, tetapi penghuninya telah berbeda. Entah bisa atau tidak aku kembali pada masa itu, sebuah pertanyaan besar yang menyangkut ruang dan waktu.
"Mba.." petugas TU berkerudung itu memanggilku.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Aku tahu legalisir ijazah telah selesai. Dan aku tahu pula kenangan tersebut pun telah usai. "Sudah selesai?"
` *** `
"Tau anak XAK1 gak yang biasa ngikut gerombolan Tata?"
"Yang sering berangkat dan pulang sama-sama itu ya? Yang rambut lurus sebahu?"
"Ya, itu tuh.. tau gak?"
"Enggak. Memang guru yang hafal tiap anak muridnya."
"Yee.. guru aja gak bakal hafal sama kita, kalo kitanya gak bandel, pinter atau bodoh ya susah dihafalin sama guru"
Diam. Hening. Sunyi.
Tak terdengar lagi percakapan dua siswa itu lagi dari dalam perpustakaan. Hanya ada detak jarum jam di dinding perpustakaan. Sementara ratusan buku dan ribuan koran tak dapat bersuara. Hanya bersembunyi dibalik rak-rak buku yang diam membisu.
'Siapa yang bicara diluar" tanyaku dalam hati
Gara-gara tak membawa tugas contoh laporan keuangan koperasi harus kukerjakan diruang ini. Bu Tyas gak pernah toleran dengan anak-anak yang melupakan tugasnya. Tak peduli segudang alasan yang sudah kami siapkan, dia tetap saja menyuruh kami tuk mengumpulkannya. Apapun caranya. Dalam perpus yang memang sepi aku memulai laporan yang tertinggal didalam kamarku.
Dan sekarang konsentrasiku entah pergi kemana setelah mendengar percakapan diluar perpustakaan.Meski namaku tak disebut, aku tahu maksud mereka adalah aku. Hanya aku anak XAK1 yang berangkat dengan gerombolan Tata dan anak-anak jurusan TKJ. 'Kenapa tadi gak keluar saja sih daripada penasaran gini' ujarku sambil mengembalikan jalan pikiranku.
` *** `
'Ah, pohon itu' Aku menatapnya takjub. Tak percaya kalau pohon ini masih dipertahankan ditengah perubahan sekolahku ini. Kelasku berada didepan pohon besar ini. Rindang saat kami beristirahat selepas olahraga atau jam istirahat.
Batangnya masih kokoh, meski terlihat bagian atas pohon yang dipotong disana-sini. Hijaunya daun-daun itu masih tetaplah sama, meski tertutup debu karena sekarang kemarau. Dan lihat, daun-daun kuning yang rontok itu masih saja berjatuhan dilantai lapangan dan depan kelas. Aku tersenyum melihat daun-daun layu itu tergeltak dilantai, aku masih ingat anak-anak kelas kami sering kali ribut karena daun-daun tersebut membuat depan kelas kami menjadi kotor.
Haruskah aku meminjam mejad Nobita, yang menjadi penghubung masa depan dan masa lalu. Kenangan itu terlalu indah tuk ditumpuk disudut otakku. Rasanya ingin aku berada dimasa itu saja. Mengulangnya dan tinggal didalamnya.
"De, kantinya disebelah mana ya?" kutanya pada anak Perkantoran yang sedang melintas didepan pohon.
"Sekarang didepan sana kak, gabung dengan fotocopy. Disamping tempat parkir" jelasnya
"Makasih ya"
Dia hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian bergegas meninggalkanku. Mungkin ia sedang terburu-buru, berjalan dengan cepat dan menghilang di belokan bertuliskan Toilet.
` *** `
"Beneran sudah gak sakit?" tanya Ryan
"Mending dibawa ke rumah sakit. Siapa tau dia gegar otak atau lupa ingatan.."
"Doainnya kok gitu Ta, ntar kalo beneran lupa ingatan gimana?" aku memotong perkataan Tata
Hari Jum'at adalah waktunya bersih-bersih dan senam bersama. Namun bukannya sehat, kepalaku malah pusing.
Aku yang masih sibuk dengan rumput-rumput yang sudah meninggi tak sengaja terkena bola orange itu. Sekelompok anak kelas X dan XI sedang bermain selepas acara senam. Menyebabkan kepalaku langsung terasa berputar, meski tak sampai pingsan tetapi tubuhku seketika melemas. Aku masih tersadar akan suara teman-temanku yang langsung berteriak. Aku pun masih merasa kalau tubuhku dipapah oleh Lia dan Sri.
"Enggak lah, aku cuma kaget aja" kataku menatap teman Tata tersebut.
"Aku bener-bener minta maaf ya. Beneran gak sengaja tadi.Arah bola itu seharusnya kering bukan kekepalamu" cerocosnya
"Udah ah, mending pulang aja yuk, daripada disini kena ceramah sama si Ryan ini" ujar Tata sembari menarik tanganku.
Ryan, teman sekelas Tata yang tak sengaja melempar bola basket tersebut. Sejak kejadian tersebut ia benar-benar panik dan selalu menanyakan keadaanku. Bahkan pada jam istirahat, dengan wajahnya yang panik ia membawakanku segelas teh manis.
Sekilas Ryan adalah pemuda biasa, tubuhnya kurus dengan tinggi kurang lebih 165 meter. Dibalik seragam olahraganya terlihat kulitnya yang kecoklatan. Rambutnya hitam dan pendek, meski sedikit acak-acakan dan terlihat berkeringat. Sementara yang paling menarik adalah pandangan matanya yang tajam, mungkin ia akan memandang dengan penuh minat apa yang menarik hatinya.
Ia hanya diam menatapku pergi ditarik Tata. Tepat dibawah pohon depan kelasku ia berdiri. Tatapannya masih terarah pada kami yang perlahan mengecil karena semakin menjauh. Sementara aku pun melangkah pulang, terdengar celotehan Tata dan teman lainnya. Saat kutengok kearah belakang, Ryan masih berdiri ditempatnya. Ryan masih berdiri didepan pohon besar itu. Bayang pohon mulai mengaburkan sosoknya.
` *** `
"Lulus tahun berapa nak?" tanya Bu Jum sambil melayaniku.
Kuterima piring nasi pecelnya, lengkap dengan sepotong mendoan yang hangat. Sosok itu masih ada, kukira aku takkan lagi menemukannya saat kembali kesekolah ini.
"Sudah lima tahun yang lalu bu, sudah banyak yang berubah bu.."
"Ya, beginilah nak, disana sini dirubah, dulu yang ruang kelas sekarang jadi lab komputer, warung ibu juga ikut berubah" adu ibu yang terlihat berumur 60 tahun lebih.
"Tapi rasanya tetap sama bu," ucapku setelah merasakan satu suapan nasi pecel favoritku dulu.
Satu lagi yang tak bisa lupakan dari sekolah ini. Kantin yang selalu ramai saa istirahat. Hingga terkadang bangku-bangku yang panjang ini tak muat bagi para pelajar. Meski panganan yang disediakan sederhana dan mudah ditemukan, tetapi tetap saja memberikan warna yang berbeda.
"Biasa bu.." ucap seorang laki-laki berkacamata yang baru duduk diujung bangku panjang
"Udah selesai ngajarnya mas, pagi amat" tanya Bu Jum
"Laper, daripada gak konsen" katanya sambil mengambil keripik singkong didepannya.
Aku hanya tersenyum, 'inikah guru-guru jaman sekarang, meninggalkan muridnya hanya untuk kepentingannya pribadi' sekelat pikiranku tertuju pada hal yang bukan-bukan. Segera saja kuhabiskan nasi pecelku dalam diam. Hanya denting sendok yang beradu dengan piring terdengar lirih. Tak kupedulikan lelaki yang kini juga sibuk dengan nasi pecelnya.
` *** `
Pohon, kantin dan sudut depan perpustakaan adalah sebagian kecil dari ingatan masa sekolah. Ingatan yang hanya bisa dipanggil tanpa diulang kembali. Kejadian demi kejadian yang terus berulang dan berhenti saat kita menerima ijazah kelulusan.
Sekali lagi kuhembuskan nafas yang terasa berat. Seberat langkahku yang akan keluar dari sekolah ini. Entah kapan aku bisa kembali lagi. Menikmati kenangan masa indah.
Sekali lagi kulewati sudut sekolah, yang dulu merupakan perpustakaan. Mencoba menghimpun seluruh kenangan yang lalu, mengumpulkan kepingan gambar-gambar akan kejadian diperpustakaan. Sekali lagi kulewati pohon depan kelasku. Menatapnya tuk terakhir kali dari ujung atasnya yang tak terlihat, dedaunannya yang hijau, batangnya yang kokoh dan gurat-gurat kulit kayu yang terlihat.
"Mba.." suara seseorang menghentikan langkahku
Dari belakang pohon terlihat lelaki berkacamata itu setengah berlari. Seketika itu pula bayang akan Ryan yang berdiri didepan pohon muncul kembali. Ia kah Ryan yang dulu menatapku dibawah pohon?
Saat kujelajahi lelaki tersebut, bayang Ryan memang semakin terlihat. Meski tak lagi sekurus dahulu, tetapi tubuhnya masih saja kecil. Rambutnya kini tertata rapi dengan tatanan mengikuti jaman modern. Dan matanya masih saja tetap seperti dulu, memandangku dengan penuh kesungguhan hati. Ya, bola mata itu masih memancarkan ketajaman yang kurindukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar