Saduran dari karya ponakanku, cerpen anak SMA..
Kisah
ini awal ketika aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Masa – masa remaja yang
dilalui dengan kegembiraan dan kegalauan yang datangnya silih berganti.
Waktu
itu, aku mempunyai teman sekelas bernama Sari. Lumayan cantik, berkulit putih,
tubuh yang kurus dan tinggi membuatnya dia terkenal dikalangan angkatan kami.
Aku dan dia sudah berteman sejak masuk SMP, sama – sama mengikuti kegiatan
Pramuka menjadikan kami semakin akrab. Suatu hari, ketika waktunya untuk
pulang, Sari meminjam hpku. Ia bilang untuk menghubungi temannya, karena hpnya
mati.
Sesampainya
dirumah kubuka kembali hpku itu, kubaca sejenak sms Sari pada temannya. Tak
disangka pada malam harinya teman Sari tersebut mengirimkan pesan padaku.
Awalnya hanya iseng, tapi lama kelamaan saling mengenalkan diri dan terjalinlah
suatu pertemanan dari situ. Awalnya tak kenal, kemudian saling ber – sms – an,
kemudian dia mengajakku untuk melakukan kopi darat, ketemuan disuatu tempat
untuk lebih saling mengenal lagi.
Tian,
itulah teman pria yang dulu disms Sari. Dari Sari pula aku mendapat rujukan
kalau Tian itu adalah anak yang baik, seorang pelajar dari Sekolah Menengah
Atas. Atas dasar itu pula lah, aku memberanikan diri untuk melakukan kopdar
(kopi darat) dengan Tian, asal saling membawa teman, itu syarat dariku. Akhirnya
aku membawa Sari dan Tian membawa seorang teman laki – lakinya, Wisnu namanya.
Kami hanya mengobrol kala itu, saling menanyakan kesukaan masing – masing. ****
1
bulan telah berlalu…
Wisnu
kini sering menghubungiku walau lewat sms, dan itupun hanya menanyakan kabar
belaka. Ternyata dia lumayan asyik sebagai teman curhat, dari yang selalu
mendengarkan keluhanku tentang susahnya pelajaran atau kegiatan Pramukaku yang
membuatku bosan. Meski jarang, tapi dua atau satu minggu sekali Wisnu selalu
mengajakku untuk bertemu, sekarang makan bersama atau ke perpustakaan bersama.
“Nis,
kamu mau ga jadi pacarku?” tanya Wisnu ketika kami menyusuri taman kota
bersama.
“Bukannya
kamu sudah punya pacar?” tanyaku “Ntar aku malah jadi orang ketiga lagi”
lanjutku
“Kata
siapa aku punya pacar, belum lha” jawabnya santai
Berlangitkan
malam yang tak penuh bintang, aku terdiam sejenak, memikirkan apa yang harus
kuucapkan pada Wisnu. Salah ucap sekata pun bisa menjadi penghancur pertemanan
kami. Aku tak mau hubungan teman yang sudah baik ini menjadi retak gara – gara
aku menolak cintanya.
“Aku
tak bisa menjawabnya sekarang, aku perlu waktu” jawabku
Wisnu
tersenyum, “iya tak papa” jawabnya singkat. “Kita makan yuk” katanya sambil
menunjuk warung bakso kesukaan kami di taman kota ini. ****
Entah
kenapa ayam berkokok dengan cepatnya, tak terasa aku sudah harus bangun dari
tidurku yang nyaman ini. Sinar matahari belum berhasil menembus kaca jendelaku,
berarti ini masih jam lima pagi, pikirku dalam hati. Ada rasa malas untuk
bangun, ada rasa tuk melanjutkan tidurku saja, biar melanjutkan mimpi yang tadi
belum selesai.
“Bangun
nis, sholat subuh dulu” kata ibuku sambil mengetuk pintu kamarku.
“Ya
bu, “ aku langsung bangun, duduk ditepi tempat tidurku tuk mengumpulkan
semangat baru menyambut hari ini.
Rutinitas
masih saja seperti kemarin, hampir bosan rasanya melakukan hal ini. Bangun,
mandi, sarapan, pergi, belajar, terus berulang setiap harinya selama bertahun –
tahun. Ingin rasanya cepat – cepat menyelesaikan sekolah ini, biar bisa kuliah
yang waktu belajarnya tak terlalu mendominan seperti saat SMP atau SMA.
Hampir
sama seperti hari – hari kemarin, aku tak begitu menikmati pelajaran hari Sabtu
ini. Rasanya barusan aku masuk kelas, eh malah sekarang udah waktunya pulang.
Bel tanda pelajaran terakhir telah berbunyi disambut sorak – sorak dalam hati
teman – temanku yang sudah jenuh dengan pelajaran Kesenian ini. Tak ada yang
berlama – lama dikelas, semua anak segera menghambur berlari keluar kelas dan
berbaur dengan anak – anak yang lain. Hampir semuanya bercerita tentang
kegiatan nanti malam minggu yang sudah direncanakanya.
“Nis
ntar malam ke taman lagi yuk” sms dari Wisnu
Sambil
melepas sepatu dan meletakkanya dilemari sepatu aku tersenyum membacanya. Dalam
hati mulai terasa getaran aneh yang muncul setiap kali aku membayangkan Wisnu.
“Ok,”
balasku singkat.
Nanti
malam adalah malam minggu, malam yang panjang buat anak – anak muda. Malam bagi
para pasangan kekasih untuk saling bertemu, saling mengungkapkan cintanya pada
pasangannya. Tapi malam yang kelabu bagi yang sendiri, tanpa teman pendamping
hanya bisa menikmati pemandangan sepasang kekasih yang saling bergandengan
tangan.
Malam
ini juga sudah kubulatkan hati tuk menjawab pertanyaan dari Wisnu. Sudah
kupikir dalam otakku yang pas – pasan ini, kan kujawab segala rasa aneh yang
selalu muncul ketika bersama Wisnu.
“Kamu
masih nunggu jawaban aku ngak Nu” tanyaku
“Jawaban
pertanyaan yang mana” tanya Wisnu sambil menikmati es krimnya
“Masih
muda kok udah pikun” candaku
“Masih
dong, sampai kapanpun aku nggak bakal lupa pertanyaanku itu” jawabnya mulai
serius “Emang udah ada jawabannya?” tanyanya lagi
“Ehm……”
aku menggantung jawaban
“Jangan
gitu dong, bilang iya atau tidak aja kok susah”
“Iya
aja deh, daripada ntar ngak dianter pulang” jawabku mengalihkan pandanganku
dari Wisnu
“Makasih
yah” jawab Wisnu tersenyum.”Aku janji cuma kamu seorang yang ada dihatiku” ****
1
tahun berlalu ….
Dalam
menjalin suatu hubungan biak pertemanan atau percintaan aku berprinsip untuk
selalu jujur. Membuka segala masalah yang ada itu jauh lebih baik daripada
mengetahuinya dari belakang. Demikian pula dengan hubunganku dengan Wisnu, kami
sepakat untuk saling terbuka satu sama lain. Apapun masalahnya, kami harus
hadapi dengan kejujuran sehingga bisa menjadikan kami lebih bersatu.
Sejak
1 tahun yang lalu ketika aku memberikan jawabanku pada Wisnu, kami sepakat
untuk saling memberikan panggilan sayang, layaknya pasangan kekasih yang lain.
Seperti beb, darling, say, bahkan ada juga yang sudah memanggil papi mamih
(tapi aku kurang terlalu suka dengan panggilan terakhir, kan belum apa apa kok
memanggilnya sudah seperti itu, kurang berkenan saja dalam hatiku). Aku lebih
sering memanggilnya Mas, dan dia memanggilku dengan Dik.
Tak
terasa sebentar lagi aku harus melewati ujian, tak terasa pula kalau aku sudah
kelas 3. Masa – masa yang paling sulit, harus pandai – pandai membagi waktu
antara pelajaran dan kegiatan diluar sekolah.
Entah
karena akunya yang terlalu sibuk dengan persiapan ujianku atau ada alasan yang
lain hubunganku dengan Wisnu mulai merenggang. Sempat terasa kalau Wisnu mulai
berubah, tak seperti pada awal – awal kami pacaran dulu.
“Mas,
mulai berubah deh” tanyaku sambil mengambil buku dirak perpustakaan kota.
“Berubah
apaan” tanyanya
“Contohnya
nih ya, kadang sms ku ngak dibalas, kemarin marah – marah nggak jelas” kataku
sambil membaca buku referensi yang kuambil tadi
“Kan
mas juga sibuk, memangnya hanya kamu yang sibuk ujian” katanya sambil berjalan
menjauh.
Berawal
dari kejadian diperpustakaan kota itulah mulai sering muncul pertengkaran –
pertengakaran dalam hubungan ini. Sambil mengikuti persiapan ujian aku terus
saja memikirkan masalah ini, setengah otakku kupaksa untuk berpikir materi
ujian sementara setengahnya lagi kupaksa untuk memikirkan hubunganku dengan Mas
Wisnu. Aku juga tak mau aku gagal pada ujian sementara aku juga gagal dalam
mempertahankan hubunganku dengan Mas Wisnu.
Seiring
berjalannya waktu, ketika ujian makin dekat aku mendengar kabar tentang Wisnu.
Pernah temanku berkata ia melihat Wisnu dengan seorang pelajar dari sekolah
tetangga. Walau hatiku hampir hancur, tapi kucoba tuk mempertahankan. Toh kata
Mas Wisnu, yang pernah jalan dengannya hanya saudaranya saja, kucoba tuk
percaya padanya.
Namun,
aku sendiri pernah memergoki dia sedang jalan dengan wanita lain. Dan yang
lebih menyakitkan hati, mereka bergandengan tangan dengan mesra layaknya
sepasang kekasih. Kali ini, kucoba tuk berpikir lebih rasional, hampir dua hari
aku melupakan materi ujian hanya untuk memikirkan kejadian kemarin.
“Aku
udah capek Mas,” kataku saat berjumpa dengannya
Wisnu
hanya terdiam melihat tatapan mataku yang semakin menajam.
“Aku
sudah bosan dengan segala yang kamu tutupi dari aku, sepertinya prinsip
kejujuranku sudah tak lagi ada dalam hubungan ini “ ujarku
“Lalu
kamu maunya seperti apa Dik, kamu tak percaya sama aku” tantangnya
“Aku
mau putus, kita sudahi semua sampai disini” ujarku lagi, air mataku hampir saja
membanjiri pipiku kalau tak dicegah dengan logikaku.
“Ok,
kita selesai” ucap Wisnu dengan singkatnya dan terasa tanpa ada beban
Cinta
memang tak seperti yang kita bayangkan. Cinta juga tidak selamanya menyenangkan
begitu pun sebaliknya cinta tak selamanya menyedihkan. Hubunganku dengan Mas
Wisnu tak selamanya berjalan dengan mulus seperti pikiranku dulu. Ternyata
banyak tikungan dan pertigaan yang harus kita hadapi, dan tak selamanya itu
sejalan.****
1
bulan telah berlalu, kesibukanku dengan ujian bisa menjadi pelampiasanku untuk
mengalihkan dari segala yang behubungan dengan Wisnu. Meski sebenarnya masih
ada rindu dalam hatiku untuk Wisnu, masih ada rasa ingin melihatnya senyumnya
lagi, masih ada rasa tuk mendengar candaannya lagi.
Ujian
telah berlalu, aku mencoba tuk semakin meninggalkan bayangan tentang Wisnu.
Beruntung ada teman laki – laki yang ternyata sudah suka padaku dari kelas 1,
tapi ia tak pernah berani tuk mengatakan padaku. Aku tak pernah berpikir untuk
menjadikan Angga sebagai pelarianku saja dari Wisnu, mulai kucoba tuk membuka
hatiku pada Angga.
Ketika
aku mulai nyaman dengan hubunganku dengan Angga, aku mendapat kabar dari Sari
kalau sebenarnya Mega, teman beda kelasku menyukai Angga. Aku dan Mega adalah
teman dekat, kami selalu menghabirkan jadwal istirahat bersama di kantin,
mengerjakan tugas bersama di perpustakaan, aku bahkan menganggap Mega salah
satu sahabat terbaikku. Soal Angga, Mega tak pernah memberitahukan padaku
tentang perasaannya.
Dalam
kebimbangan, satu sisi aku nyaman dengan Angga, disisi lain Mega adalah
sahabatku sendiri. Lebih baik aku mengorbankan perasaanku, aku lebih memilih
Mega. Kuputuskan hubunganku dengan Angga dengan baik – baik, ia pun berusaha
tuk memahami keadaanku ini.
Untungya
keputusanku diperkuat dengan kelulusan dan aku tak satu sekolah lagi dengan
Angga maupun Mega. Jadi tak ada beban dalam hatiku, tak harus memilih antara
Angga atau Mega lagi. ****
‘Wisnu
datang lagi’ hati kecilku bersorak gembira. Entah darimana ia tahu aku
bersekolah dimana, tapi tadi siang dia ada didepan gerbang. Ia mengajakku makan
siang, hanya sebagai ucapaan permintaan maaf atas salahnya waktu dulu. Selain
itu juga ia mengungkapkan kalau ia benar – benar menyesal, dan masih menyimpan
perasaan untukku.
Aku
tak bisa menolak Wisnu, hati benar – benar berseri, segala keindahan dibumi ini
muncul dalam hari hariku bersama Wisnu. Dalam hati kucoba tuk mulai menghapus
kesalahan Wisnu.
“Aku
janji takkan mengulang kesalahan yang lalu, aku janji hanya seorang Nisa yang
sekarang ada dihari – hariku” ucapnya makin membuat hatiku luluh. ***
Hari
– hari berlalu, dengan cepatnya ia berganti menjadi bulan. Tak terasa
hubunganku dengan Wisnu telah satu tahun lamanya. Awalnya memang menyenangkan,
rasa indah memenuhi ruang dalam hati. Tapi entah mengapa, beberapa minggu
belakangan terasa berbeda, ada sesuatu yang mengganjal dalam hubungan ini.
Terasa Mas Wisnu semakin sering tak menjawab telfon ku, ia berkilah kalau
sedang sibuk kuliah, terkadang pula ia lupa dengan janji yang ia buat sendiri. Namun
masih saja kucoba untuk berpikir positiv mungkin, benar Mas Wisnu sedang sibuk
atau sedang ada masalah dengan kuliahnya.
Lusa
adalah ulang tahun Mas Wisnu, aku sengaja tak mengatakan apapun, sikapku
padanya juga seperti biasa. Aku ingin memberikan sebuah kejutan, mungkin dengan
ini dia bisa memberikan perhatiannya sepenuhnya pada hubungan kami.
Hari
ini adalah jadwalku mengikuti les tambahan. Beruntung ada Maya, ia mengajakku
untuk kabur dari jadwal les, katanya ia bosan dengan materi yang diajarkan. Maya
mengajakku kepertokoan didekat taman kota, pucuk dicinta ulam pun tiba, aku
rasa ini saat yang tepat untuk mencari kado untuk Mas Wisnu. Lupakan les, toh
hanya sekali aku tak berangkat les.
“May,
aku ke toko itu sebentar ya, siapa tahu ada yang bagus” kataku pada Maya
“Ok,
ketemuan di warung mie Udin ya” jawabnya
Beberapa
toko telah kulalui tapi belum ada yang menarik perhatianku, baru kutemukan
sebuah jam tangan laki – laki yang rasanya pas ditangan Mas Wisnu. Sebetulnya
aku ingin mencari sebuah kemeja untuknya, katanya dia akan mengikuti KKN, dan
aku ingin kemeja itu mengingatkannya padaku saat KKN nanti.
Baru
satu langkah melewati resto, langkahku terhenti, pandanganku tertuju pada satu
orang yang selalu mengisi relung hatiku. Mas Wisnu, ia sedang duduk disalah
satu kursi resto tersebut, yang membuatku lebih kaget, didepannya ada seorang
wanita muda, terlihat seumuran denganku. Tangan mereka saling menggenggam, dari
cara bicara keduanya terlihat mereka sedang membicarakan hal yang menarik, dan
yang paling menyakitkan terlihat dari pandangan Mas Wisnu yang memandang wanita
itu, seperti saat dia memandang mataku.
Langkahku
semakin kupercepat, rasanya ingin berlari bila tak terhalang beberapa orang
yang lalu lalang diresto. Hampir saja emosi memenuhi tubuhku, rasanya ingin
sekali memukul batang pohon pisang tuk melampiaskan amarah ini.
“Byurr”
kulempar isi gelas lemon tea pada wajah Mas Wisnu, lalu kubanting gelas itu dan
terjatuh kelantai berkeping – keping.
Lantai
langsung basah, pecahan kaca gelas terlihat hancur berkeping – keping. Orang –
orang dalam resto langsung tertuju pada kami, beragam tatapan mereka, penuh
tanya, penuh amarah dan penuh penasaran.
“Nis”
tanya Wisnu pelan sambil mengusap wajahnya
“Ssstt
jangan bicara” kataku tegas “Kamu pacaranya?” tanyaku pada gadis didepan Wisnu
Ia
terdiam, mungkin bingung dengan keadaan ini. Ia menengok kesegala arah, melihat
seluruh penjuru resto sedang menatap kami.
“Jawab
saja, nggak usah takut” tanyaku lagi
“Bukan,
dia cuma teman” jawab Wisnu
“Siapa
yang tanya sama kamu” kataku sinis, “sekali lagi kutanya, kamu pacarnya” kataku
lagi pada gadis ini
“Kami
satu kampus,,” jawabnya pelan “Wisnu pacarku sejak tiga bulan yang lalu.”
“Ok,
makasih jawabannya” kataku sekarang
pandanganku tertuju pada Wisnu, dari tatapannya ia terlihat memelas sangat
berbeda dengan sorot mataku yang penuh amarah.
“Kita
selesai Mas, dulu kucoba tuk menyatukan hatiku yang retak, tapi kali ini sudah
hancur berkeping – keping” jawabku sambil menahan emosi “Rasanya ingin aku
tampar pipi kamu, tapi aku tak mau tanganku kotor menyentuh manusia yang tak
bisa memengan ucapannya sendiri”
“Nis…
“ katanya pelan
“Tak
ada lagi Wisnu dalam hidupku, tak satu tahun kedepan atau bahkan ratusan tahun
kedepan, hatiku sudah remuk melihat kebohonganmu”
Kutinggalkan
mereka berdua, tak tahu apa yang terjadi dengan Wisnu dan pacar barunya itu.
Aku tak lupa mengucapkan maaf pada kasir resto dan memberikan uang ganti atas
gelas yang pecah. Rasa maluku ketika seluruh orang menatapku dengan kasihan
sudah hilang, tertutup dengan sakit hatiku yang mulai membayangiku, hampir air
mataku tak bisa terbendung lagi.****
Diteras
belakangan masjid aku duduk, menikmati sakit hati yang sedang melandaku. Air
mataku tak habis – habisnya turun, entah kenapa semakin lama semakin deras
saja. Untung saja, tak ramai orang ditempat ini, sehingga membuatku semakin
nyaman untuk menangis. Hatiku sungguh menyesal, mengapa dulu aku begitu percaya
pada Wisnu, pada perkataannya bahwa hanya aku seorang dihari – hari.
“Sapu
tangan” tanpa kusadari ada suara disampingku
Lama
tak jumpa membuatku agak terpaku, Angga, masih sama seperti dulu hanya terlihat
makin kurus saja mantanku ini. Kuseka air mata yang masih dipipi, kucoba tuk
tersenyum melihatnya.
Ia
kembali menyodorkan sapu tangannya. “Masih bersih kok” katanya
“Makasih,
“ jawabku sambil menerimanya dan menghapus sisa air mataku.
“Kalau
mau nangis lagi, ngak papa kok” katanya “sebenarnya sih lebih cantik kalo
tersenyum” candanya
“Halah..
emang kapan lihat aku” selidiku
“Ya
deh, yang habis mergokin pacarnya selingkuh sampai nggak liat cowok yang duduk
disamping pacarnya” katanya “eh mantan pacar” ralatnya
“Masa
sih?” tanyaku tak percaya “Berarti dengar semua kata – kataku”
“Kayaknya
aku ngak mau ikut campur urusan itu” katanya
Aku
tersenyum, ia masih sama seperti Angga yang dulu, rasa nyaman dengan dekatnya
masih terasa. Dalam hati terasa sesal juga kenapa Wisnu tak bisa seperti Wisnu.
“Mega
ke Australia” ujarnya “Ikut tantenya untuk sekolah disana”
“Berarti
betul kabar itu, nggak nyangka dulu waktu SMP dia ngak bisa bahasa Inggris”
kataku setengah tak percaya “Lalu?”
“Apa
sih yang nggak mungkin, Einstein saja saat SD bodoh tapi malah jadi penemu
hebat”
“Hubunganmu”
tanyaku
“Yah,
mau gimana lagi, daripada jarak jauh ngak bisa dipertahankan, kita sepakat
untuk putus” katanya “tapi baik – baik lho, sama – sama menyadari saja”
“Ini
baru keren” kataku takjub, tak seperti aku yang putus gara – gara selingkuh
“Kalo jodoh tak kemana kok” kataku
“Kayaknya
kata – kata terakhir juga cocok buat yang baru putus” katanya
“Apa
sih,,”kataku sambil tersenyum “Mulai detik ini aku berhenti mikirin pacar”
tekadku
“Kalau
sahabat” katanya menatap tajam, masih ada setitik rasa dalam pandangan Angga
“Sahabat”
ujarku sambil menyodorkan tangan pada Angga
Angga
ikut tersenyum dan menjabat tanganku mantap. “Sahabat” ujarnya “tapi kalau
jodoh tak kan kemana kan” katanya berlanjut****