Minggu, 14 Desember 2014
Dalam Mangkok Bakso
Bakso ...
Siapa yang tak mengenalnya
Dari ujung barat hingga timur
Dari Malang hingga Jerman
Meski dalam nama, bentuk, dan rasa yang lain
Sebagai dasar, terisi sepotong mie yang panjang
Orang Cina berkata, mie adalah harapan untuk berumur panjang
Kemudian beradu dengan hijaunya daun cesim
Perlu ditambah irisan kecil daun seledri atau ketimun
Jangan lupakan garam, bila perlu penyedap makanan
Bawang goreng pun menjadi pelengkap yang khas
Dan sang inti adalah beberapa bulatan daging giling dan bumbu rahasia
Saat itulah kuah kaldu kan disiramkan
Yang ditunggu telah datang
Seporsi bakso, lengkap dengan kecap, saos dan sambal
Ada pula kerupuk, kacang, tahu hingga ketupat
Tak ketinggalan segelas es teh, es jeruk pun tak masalah
Terserah pada anda segala takaran itu
Berapa banyak sambalnya
Berapa sedikit kecapnya
Bahkan bisa tanpa mereka semua
Sejatinya peracik bakso adalah penjualnya
Tapi soal rasa, tetap kita penguasanya
Tak peduli pada hari yang panas, atau hujan yang lebat
Seporsi bakso tetaplah menjadi teman yang setia...
Selamat makan siang (walau sudah terlambat..)
Rabu, 10 Desember 2014
Senja
Putaran hari belumlah diujung
Ketika matahari kian condong dalam langit barat
Saat para pekerja telah lelah dengan kebosanan yang berat
Dan burung pun ikut pulang ke pohon yang rindang
Untunglah hujan tak lagi mengguyur
Seperti hari kemarin, dimana hujan membasahi aspal
Dan mereka sibuk dengan mantel dan payung
Sementara kini, sore yang cerah, angin berhembus pelan
Senja belumlah dimulai sepenuhnya
Mungkin masih dua jam lagi ketika jingga merajai langit barat
Sementara dibagian timur hanya tersisa langit biru dengan awan putih
Kemudian berpadu dengan alunan doa suci
Senja kali ini tak seindah lukisan
Bukan pula seperti dalam foto seorang penjelajah
Senja ini hanyalah senja biasa,
Seperti hari yang berlalu dengan biasa saja
Selasa, 09 Desember 2014
Hujan
Waktu telah menunjuk pada angka 4
Dan hari telah beranjak pada sore
Saat matahari harusnya bersinar dari barat
Dan para manusia berpulang dari pekerjaannya
Kucium aroma tanah satu jam yang lalu
Saat rintik hujan pertama menyentuhnya
Debu dan pasir segera menguap
Menghilang bersama datangnya hujan
Lalu lalang jalanan masih terasa sama
Seperti hujan ini yang masih turun
Kulihat mahluk besi berebut tempat diatas aspal
Beradu cepat dan menghindar dari kubangan air
Seekor cicak mendekati lampu, berharap ada sedikit kehangatan
Sementara diluar, daun pohon bergoyang tertiup angin, dingin
Hujan seakan berhenti, rintik tak lagi turun
Tergantikan angin yang makin meniupkan dedaunan
Sementara penjual es buah sibuk menutup lapaknya
Begitu pula hujan, akankah dia sibuk mengakhiri perjalanannya?
Hanya hujanlah yang dapat menjawabnya..
Sabtu, 27 September 2014
(BUKAN) Resensi Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2011 (cetakan kedelapan)
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 408 halaman
Siapa yang tak mengenal Ahmad Tohari, seorang penulis dengan
puluhan judul yang telah dikenal di negeri ini. Salah satu yang paling dikenal
adalah Ronggeng Dukuh Paruk. Tak hanya bertutur tentang romantisme percintaan
manusia, tetapi juga tentang budaya Ronggeng,
tentang Dukuh Paruk mulai dari pendirinya, orang-orangnya, suasana dan
kondisi pedukuhan, bahkan bercerita tentang kelamnya pengkhianatan yang
mengatasnamakan komunisme.
Buku yang merupakan cetakan kedalapan ini merupakan penyatuan trilogy
dari Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jentera Bianglala yang
dulu terbit terpisah. Juga terdapat bagian yang 22 tahun disensor karena tidak
adanya kebebasan dalam menyuarakan suara terhadap politik dan pemerintah.
Ronggeng
Dukuh Paruk
Bercerita dari sudut pemikiran Rasus, perjaka Dukuh Paruk yang
yatim piatu karena malapetaka brongkek. Ia berteman dengan Srintil, yang suatu
ketika memintanya menirukan suara gamelan dan Srintil dengan luwesnya menari
dan menyanyi seperti Ronggeng yang tengah pentas. Adalah Santayib dan istrinya,
yang merupakan orang tua Srintil, merupakan pembuat tempe brongkek di Dukuh
Paruk. Dan suatu masa terjadilah geger racun bongkrek karena tercampurnya racun
asam tembaga dari peralatan yang digunakan hingga tumbuh bersama bongkrek
tersebut. Tak hanya orang tua Rasus yang meninggal, tetapi juga orang tua
Srintil dan puluhan orang Dukuh Paruk lainnya. Tahun telah berlalu dan
berganti, Srintil yang merupakan anak Santayib, merasa harus menjadi Ronggeng,
karena Dukuh Paruk tanpa Ronggeng merasa hampa dan tak hidup.
Sebagai teman sepermainan Rasus kini menyadari akan kehilangan
Srintil yang bermimpi menjadi Ronggeng. Ia tersadar akan kehilangan Srintil
karena Ronggeng adalah milik Dukuh Paruk. Namun ia tetap membantu Srintil
menjadi Ronggeng, dari pemandian di makan Ki Secamenggala, memberikan keris
pusaka Kyai Jaran Guyang, hingga menemaninya dalam bukak klambu. Srintil sah
menjadi Ronggeng (meski keperawanannya diberikan pada Rasus) dan Rasus pergi
karena tak bisa melihat Srintil dimiliki oleh Dukuh Paruk dan lelaki yang
datang padanya.
Ronggeng tak hanya menari, ia harus menerima dan melayani setiap
lelaki yang datang padanya. Dan Rasus tak bisa membayangkan Srintil diperlakukan
oleh ribuan lelaki, oleh karena itu ia pergi melarikan diri. Meski hanya sejauh
Pasar Dawuhan, yang terpisahkan oleh bulak sawah yang panjang. Rasus tetap tak
bisa menerima Srintil sebagai Ronggeng, meski Rasus dan Srintil bertemu di
Pasar Dawuhan. Sebuah takdir menemukan Rasus pada Sersan Slamet. Dan karenanya,
ia kini menjadi tobang yang melayani para tentara di Dawuhan. Menulis, membaca
dan merakit senjata adalah salah satu pelajaran dari Sersan Slamet.
Suatu hari perampok datang ke Dukuh Paruk, harta Srintil adalah
satu-satunya perampok itu nekat pergi ke pedukuhan yang sepi. Dan Rasus bersama
tentara pimpinan Sersan Slamet berhasil mengepung para perampok. Sebuah kematian
pertama dan kebanggaan yang dirasakan Rasus, Dukuh Paruk telah melihat anaknya
berubah menjadi seorang tentara yang membanggakan. Dan Srintil menyadari kini
Rasus telah berubah, dan hatinya sangat mengharapkan ia bisa menjadi pendamping
bagi Rasus. Tetap dengan pendiriannya Rasus melangkah pergi, meninggalkan
Srintil yang dicintai, meninggalkan Srintil yang masing Ronggeng, meninggalkan
Dukuh Paruk, tanah lahirnya.
Lintang Kemukus
Dini Hari
Kisah bergulir dari sudut pandang Srintil. Menyadari Rasus pergi
meninggalkannya, hati Srintil tidak bisa menerima. Ia mulai menyadari bahwa
Ronggeng dan dunia lelakilah yang membuatnya terpisah dari Rasus. Semangat hidupnya
meredup, menolak Marsusi pengawas hutan WanaKeling, pergi menyusul ke Pasar
Dawuhan, berhari-hari mengurung diri didalam kamarnya. Hanya Goder yang mampu
membuat ia tersenyum, dari mata Goder lah Srintil menemukan dunia yang masih
jernih, tanpa masalah kehidupan yang sukar diurai seperti dirinya. Dan sejak
Goder dalam pangkuannya, Srintil mulai menampik lelaki yang datang, ia bertekad
akan berubah menjadi perempuan sejati. Namun, indang (jiwa) Ronggeng masih
berada dalam tubuh Srintil, dan itu tidak bisa ditepisnya. Dan Srintil
memutuskan hanya untuk menjadi Ronggeng yang menari, hanya menari diatas
pentas. Dan Marsusi yang sakit hati atas penolakan Srintil mencoba membalas
dendam. Membawa jimat dari dukun Segara Anakan, ia mengacaukan pementasan
Srintil pada acara 17 Agustus di Dawuhan. Namun berkat Kartareja, Marsusi sadar
dan mengakhiri perbuatannya, mereka sama-sama tertawa melihat Srintil yang
mulai kembali menari.
Menjadi gowok adalah pengalaman yang baru bagi Srintil, Nyai
Kartareja mengatakan inilah pembalasan Srintil saat dulu menjalani bukak
klambu. Gowok adalah tradisi AlasWangkal, dimana seorang perjaka dilatih untuk
siap dalam menjalani sebuah kehidupan suami-istri. Meski sudah berjanji akan
tidak melayani lelaki lain, namun Srintil bertekad membantu Waras, perjaka yang
masih anak-anak. Upaya Srintil tak berhasil, ia hanya menyadari bahwa Waras
tidaklah seperti lelaki yang sering dijumpainya, Waras tidak dapat mengikuti
kodratnya sebagai seorang lelaki.
Ketika komunis mulai ramai di Indonesia, komunis bahkan bisa
menyusup ke Dukuh Paruk yang terpencil. Melalui Pak Bakar, antek komunis yang
membawa Srintil dan grup Ronggeng Dukuh Paruk dalam pementasan seni yang
mengatas namakan kesenian rakyat. Kericuhan mulai terjadi, makam Ki
Secamenggala dibakar, orang-orang yang ikut dalam Ronggeng dicari oleh polisi,
dan berakhir pada penahanan Srintil, Ronggeng Dukuh Paruk yang akhirnya
dipenjara. Dan Dukuh Paruk kembali berduka, dari segala kedunguan mereka, Dukuh
Paruk dipersalahkan karena mengikuti komunis yang bahkan tak mereka tahu apa
arti dari komunis. Dukuh Paruk yang malang.
Jantera Bianglala
Musim telah berganti, tahun terus berputar. Dan Srintil masih
mendekam dipenjara. Rasus yang merupakan tentara kebanggaan Dukuh Paruk tak
sanggup tuk membebaskannya, ia bahkan tak bisa mengucap satu kata pun saat
menjenguk Srintil. Nasib Srintil kian merana, ia menjadi wanita bagi para
petinggi dipenjara yang menginginkannya. Meski akhirnya Srintil dibebaskan,
tapi ada sebagian jiwa Srintil yang tetaplah terpenjara. Ia menangis ketika
pertama kali menginjakkan kakinya di Dukuh Paruk, tak kuasa air matanya
mengalir melihat tanah kelahirannya kini hancur akibat malapetaka komunisme.
Srintil telah kembali, Sakaraya kakeknya bisa bernafas lega karena
bila ia meninggal cucunya bisa melihatnya pergi. namun Srintil bukanlah Srintil
yang dulu, hidupnya penuh dengan ketakutan, ia membungkam saat ditanya
pengalaman dipenjara, ia harus lapor rutin pada penjara, dan harus menundukan
kepala sekaan melihat dunia akan membunuhnya. Ditengah perjuangannya masih saja Srintil
dicoba dengan ulah Marsusi yang mengajaknya ke WanaKeling, namun sang Kuasa
masih memberikan pertolongan padanya.
Seiring waktu yang berjalan, kemajuan pun mulai menghampiri Dukuh
Paruk. Sejumlah pembangunan irigasi sawah Dukuh Paruk membawa sejumlah orang
dari Jakarta. Termasuk Bajus, yang bersikap sopan, baik dan menarik perhatian
Srintil. Disaat hati Srintil mulai berkembang akan Bajus, Rasus kembali pulang
ke Dukuh Paruk. Meski Srintil masih mengharap Rasus, tetapi ia menyadari ia adalah
bekas tahanan yang mungkin tak akan pantas dengan seorang tentara seperti
Rasus. Dan Rasus memberi pesan yang indah, ia akan merelakan Srintil hanya
untuk lelaki yang baik, lelaki yang mengharapkan Srintil menjadi istrinya. Dan bila
Srintil tidak menemukan lelaki tersebut, maka Rasus akan kembali kepadanya.
Dengan segala pesona dari Bajus, membantu Srintil membangun rumah,
mengajaknya liburan kepantai, dan segala sikap yang sopan membuat Srintil
menaruh harap padanya. Srintil berharap ia bisa menjadi istri bagi Bajus,
bahkan tak mengapa bila hanya menjadi
istri kedua. Namun ternyata Bajus adalah lelaki peluh, lelaki pengecut yang
memperdaya Srintil. Ia bahkan menjual Srintil pada Blengur, bosnya yang
merupakan lelaki petualang. Untunglah Blengur mampu melihat keinginan Srintil
yang berharap menjadi wanita baik-baik. Namun semua terlambat, ulah Bajus
tersebut membuat Srintil merasakan kematian jiwanya. Jiwanya telah pergi, meninggalkan
raganya yang tak perdaya. Akal sehatnya entah kemana meninggalkan badannya yang
semakin kurus.
Rasus pulang dari pengabdiannya di Kalimantan, ia berpikir ia
bukanlah prajurit yang sesungguhnya. Ia berpikir
ia tak kan sanggup melihat sebuah kematian karena senjatanya. Rasus pun
berharap akan Srintil, tak mengapa bila ia sudah menjadi istri orang, asalkan
bukan lagi seorang Ronggeng. Namun semuanya sudah terlambat.
Rasus melihat Srintil telah tak berjiwa, ia melihat Dukuh Paruk
yang dungu dan terbelakang. Dan Rasus pun menyadari bahwa ialah yang sanggup
mengubah semuanya. Mengubah Dukuh Paruk.
Penilaian pribadi
Saat membaca novel ini, seakan kita berada di Dukuh Paruk. Ahmad
Tohari benar-benar mampu menuliskan pedukuhan Dukuh Paruk dengan kemaraunya,
keterbelakangan mereka, bahkan hingga tingkah bunglon pun terasa nyata. Novel yang
mengajarkan kita pada budaya, adat, lingkungan dan perasaan dari kehidupan
manusia.
Jumat, 19 September 2014
Mengenang Keberanian Yang Berlalu
Dua tahun lalu, semangat itu begitu membara, impian itu begitu terlihat didepan mata. Langkah terasa sangat ringan, tanpa beban pikiran yang terus menghantui. Namun, kini semangat itu menguap, seakan embun yang terbakar sinar mentari.
Sebuah perjalanan penuh keberanian, keyakinan dan harapan. Berawal dari Jogja yang masih bernuansa tradisi namun telah berbaur dengan ribuan alat modern dan ratusan jenis suku.
Perjalanan panjang melintas kota dan laut, menaiki gerbong kereta, bus dan kapal laut. Perjalanan darat menempuh hari dan malam, berbaur dengan udara kemarau yang panas dan dingin.
Lombok, Mataram, Senggingi, Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air adalah sejumput pesono nusantara yang dapat kujelajahi. Dititik ini aku tersadar, bahwa negara ini sangatlah mempesona, kaya akan alam yang memukau, kaya akan budaya yang mengakar, kaya akan kuliner yang menggugah selera. Sayang seribu sayang masalah dan kondisi negara ini terlalu rumit tuk diselesaikan dalam waktu yang singkat. Sangat mudah dan singkat untuk membalikkan telapak tangan, tetapi untuk mengatasi masalah yang menutupi keindahan negeri ini tidak lah sesingkat itu.
Terima kasih terucap kepada kawan-kawan pendaki gunung Rinjani, bersama mereka saya berhasil melintasi pulau Dewata tuk pertama kalinya.
Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman asli dari Lombok dan Mataram yang tak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas arah dan kebaikan dari kalian pada pengembara yang tersasar ini. Atas tumpangan tidur gratis, keliling Lombok, dan petunjuk arah yang benar.
Sebuah kenangan memang tak bisa dihapuskan, hanya akan terlupakan. Berada ditumpuk terbawah, tertutup oleh kenangan-kenangan yang lain. Demikian pula akan perjalanan ini. Suatu saat semoga saja bisa mengulangnya kembali, Kembali pada Gili Meno, Gili Trawangan, dan Mataram...
Dan kata terakhir..
SAYA RINDU BACKPACKERAN
Kamis, 18 September 2014
Kenangan Itu
Tak habis pandanganku pada sudut sekolah itu. Tepat berada ujung deretan ruang Kepala Sekolah, TU dan perpustakaan. Dan ruang-ruang kelas kejuruan yang setiap hari berbeda seragam. Diruang yang akan sepi bila jam pelajaran sedang berjalan dan akan ramai lalu lalang murid saat bunyi istirahat telah berunyi.
Disudut itulah tersimpan secuil memori yang mungkin tak kan terhapus. Hanya akan sedikit terlupakan dan akan kembali bila muncul sang pemicunya. Tertumpuk oleh kenangan dan kejadian yang terus bertambah. Menjadi kenangan paling belakang yang ada dalam ingatan.
Sekilas kulemparkan pandangan pada koridor depan ruang kelas. Terasa berbeda meski terkesan masih sama. Panjangnya masih sama, cat temboknya telah berbeda. Jumlah ruang dan kegunaannya masihlah sama, tetapi penghuninya telah berbeda. Entah bisa atau tidak aku kembali pada masa itu, sebuah pertanyaan besar yang menyangkut ruang dan waktu.
"Mba.." petugas TU berkerudung itu memanggilku.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Aku tahu legalisir ijazah telah selesai. Dan aku tahu pula kenangan tersebut pun telah usai. "Sudah selesai?"
` *** `
"Tau anak XAK1 gak yang biasa ngikut gerombolan Tata?"
"Yang sering berangkat dan pulang sama-sama itu ya? Yang rambut lurus sebahu?"
"Ya, itu tuh.. tau gak?"
"Enggak. Memang guru yang hafal tiap anak muridnya."
"Yee.. guru aja gak bakal hafal sama kita, kalo kitanya gak bandel, pinter atau bodoh ya susah dihafalin sama guru"
Diam. Hening. Sunyi.
Tak terdengar lagi percakapan dua siswa itu lagi dari dalam perpustakaan. Hanya ada detak jarum jam di dinding perpustakaan. Sementara ratusan buku dan ribuan koran tak dapat bersuara. Hanya bersembunyi dibalik rak-rak buku yang diam membisu.
'Siapa yang bicara diluar" tanyaku dalam hati
Gara-gara tak membawa tugas contoh laporan keuangan koperasi harus kukerjakan diruang ini. Bu Tyas gak pernah toleran dengan anak-anak yang melupakan tugasnya. Tak peduli segudang alasan yang sudah kami siapkan, dia tetap saja menyuruh kami tuk mengumpulkannya. Apapun caranya. Dalam perpus yang memang sepi aku memulai laporan yang tertinggal didalam kamarku.
Dan sekarang konsentrasiku entah pergi kemana setelah mendengar percakapan diluar perpustakaan.Meski namaku tak disebut, aku tahu maksud mereka adalah aku. Hanya aku anak XAK1 yang berangkat dengan gerombolan Tata dan anak-anak jurusan TKJ. 'Kenapa tadi gak keluar saja sih daripada penasaran gini' ujarku sambil mengembalikan jalan pikiranku.
` *** `
'Ah, pohon itu' Aku menatapnya takjub. Tak percaya kalau pohon ini masih dipertahankan ditengah perubahan sekolahku ini. Kelasku berada didepan pohon besar ini. Rindang saat kami beristirahat selepas olahraga atau jam istirahat.
Batangnya masih kokoh, meski terlihat bagian atas pohon yang dipotong disana-sini. Hijaunya daun-daun itu masih tetaplah sama, meski tertutup debu karena sekarang kemarau. Dan lihat, daun-daun kuning yang rontok itu masih saja berjatuhan dilantai lapangan dan depan kelas. Aku tersenyum melihat daun-daun layu itu tergeltak dilantai, aku masih ingat anak-anak kelas kami sering kali ribut karena daun-daun tersebut membuat depan kelas kami menjadi kotor.
Haruskah aku meminjam mejad Nobita, yang menjadi penghubung masa depan dan masa lalu. Kenangan itu terlalu indah tuk ditumpuk disudut otakku. Rasanya ingin aku berada dimasa itu saja. Mengulangnya dan tinggal didalamnya.
"De, kantinya disebelah mana ya?" kutanya pada anak Perkantoran yang sedang melintas didepan pohon.
"Sekarang didepan sana kak, gabung dengan fotocopy. Disamping tempat parkir" jelasnya
"Makasih ya"
Dia hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian bergegas meninggalkanku. Mungkin ia sedang terburu-buru, berjalan dengan cepat dan menghilang di belokan bertuliskan Toilet.
` *** `
"Beneran sudah gak sakit?" tanya Ryan
"Mending dibawa ke rumah sakit. Siapa tau dia gegar otak atau lupa ingatan.."
"Doainnya kok gitu Ta, ntar kalo beneran lupa ingatan gimana?" aku memotong perkataan Tata
Hari Jum'at adalah waktunya bersih-bersih dan senam bersama. Namun bukannya sehat, kepalaku malah pusing.
Aku yang masih sibuk dengan rumput-rumput yang sudah meninggi tak sengaja terkena bola orange itu. Sekelompok anak kelas X dan XI sedang bermain selepas acara senam. Menyebabkan kepalaku langsung terasa berputar, meski tak sampai pingsan tetapi tubuhku seketika melemas. Aku masih tersadar akan suara teman-temanku yang langsung berteriak. Aku pun masih merasa kalau tubuhku dipapah oleh Lia dan Sri.
"Enggak lah, aku cuma kaget aja" kataku menatap teman Tata tersebut.
"Aku bener-bener minta maaf ya. Beneran gak sengaja tadi.Arah bola itu seharusnya kering bukan kekepalamu" cerocosnya
"Udah ah, mending pulang aja yuk, daripada disini kena ceramah sama si Ryan ini" ujar Tata sembari menarik tanganku.
Ryan, teman sekelas Tata yang tak sengaja melempar bola basket tersebut. Sejak kejadian tersebut ia benar-benar panik dan selalu menanyakan keadaanku. Bahkan pada jam istirahat, dengan wajahnya yang panik ia membawakanku segelas teh manis.
Sekilas Ryan adalah pemuda biasa, tubuhnya kurus dengan tinggi kurang lebih 165 meter. Dibalik seragam olahraganya terlihat kulitnya yang kecoklatan. Rambutnya hitam dan pendek, meski sedikit acak-acakan dan terlihat berkeringat. Sementara yang paling menarik adalah pandangan matanya yang tajam, mungkin ia akan memandang dengan penuh minat apa yang menarik hatinya.
Ia hanya diam menatapku pergi ditarik Tata. Tepat dibawah pohon depan kelasku ia berdiri. Tatapannya masih terarah pada kami yang perlahan mengecil karena semakin menjauh. Sementara aku pun melangkah pulang, terdengar celotehan Tata dan teman lainnya. Saat kutengok kearah belakang, Ryan masih berdiri ditempatnya. Ryan masih berdiri didepan pohon besar itu. Bayang pohon mulai mengaburkan sosoknya.
` *** `
"Lulus tahun berapa nak?" tanya Bu Jum sambil melayaniku.
Kuterima piring nasi pecelnya, lengkap dengan sepotong mendoan yang hangat. Sosok itu masih ada, kukira aku takkan lagi menemukannya saat kembali kesekolah ini.
"Sudah lima tahun yang lalu bu, sudah banyak yang berubah bu.."
"Ya, beginilah nak, disana sini dirubah, dulu yang ruang kelas sekarang jadi lab komputer, warung ibu juga ikut berubah" adu ibu yang terlihat berumur 60 tahun lebih.
"Tapi rasanya tetap sama bu," ucapku setelah merasakan satu suapan nasi pecel favoritku dulu.
Satu lagi yang tak bisa lupakan dari sekolah ini. Kantin yang selalu ramai saa istirahat. Hingga terkadang bangku-bangku yang panjang ini tak muat bagi para pelajar. Meski panganan yang disediakan sederhana dan mudah ditemukan, tetapi tetap saja memberikan warna yang berbeda.
"Biasa bu.." ucap seorang laki-laki berkacamata yang baru duduk diujung bangku panjang
"Udah selesai ngajarnya mas, pagi amat" tanya Bu Jum
"Laper, daripada gak konsen" katanya sambil mengambil keripik singkong didepannya.
Aku hanya tersenyum, 'inikah guru-guru jaman sekarang, meninggalkan muridnya hanya untuk kepentingannya pribadi' sekelat pikiranku tertuju pada hal yang bukan-bukan. Segera saja kuhabiskan nasi pecelku dalam diam. Hanya denting sendok yang beradu dengan piring terdengar lirih. Tak kupedulikan lelaki yang kini juga sibuk dengan nasi pecelnya.
` *** `
Pohon, kantin dan sudut depan perpustakaan adalah sebagian kecil dari ingatan masa sekolah. Ingatan yang hanya bisa dipanggil tanpa diulang kembali. Kejadian demi kejadian yang terus berulang dan berhenti saat kita menerima ijazah kelulusan.
Sekali lagi kuhembuskan nafas yang terasa berat. Seberat langkahku yang akan keluar dari sekolah ini. Entah kapan aku bisa kembali lagi. Menikmati kenangan masa indah.
Sekali lagi kulewati sudut sekolah, yang dulu merupakan perpustakaan. Mencoba menghimpun seluruh kenangan yang lalu, mengumpulkan kepingan gambar-gambar akan kejadian diperpustakaan. Sekali lagi kulewati pohon depan kelasku. Menatapnya tuk terakhir kali dari ujung atasnya yang tak terlihat, dedaunannya yang hijau, batangnya yang kokoh dan gurat-gurat kulit kayu yang terlihat.
"Mba.." suara seseorang menghentikan langkahku
Dari belakang pohon terlihat lelaki berkacamata itu setengah berlari. Seketika itu pula bayang akan Ryan yang berdiri didepan pohon muncul kembali. Ia kah Ryan yang dulu menatapku dibawah pohon?
Saat kujelajahi lelaki tersebut, bayang Ryan memang semakin terlihat. Meski tak lagi sekurus dahulu, tetapi tubuhnya masih saja kecil. Rambutnya kini tertata rapi dengan tatanan mengikuti jaman modern. Dan matanya masih saja tetap seperti dulu, memandangku dengan penuh kesungguhan hati. Ya, bola mata itu masih memancarkan ketajaman yang kurindukan.
Sabtu, 06 September 2014
The Rubicae
Disadur dari L’artista (Wi Noya) yang dimuat Suara Merdeka pada
Minggu, 24 Agustus 2014.
The Rubicae
Dia berbeda dari kaum lelaki yang begitu
menggandrungi kopi. Hampir seluruh pelayan mengenalinya begitu ia memasuki The
Rubicae. Pak dokter berkacamata, dengan tubuhnya yang kecil dan kurus, ditambah
rambutnya yang sedikit beruban diatas telinganya. Favoritnya ada latte
berhiaskan hati, yang tentu saja sudah dihafal oleh pelayan kafe ini. Kopi tak
pernah sejernih air mineral, tak bisa setransparan teh apalagi seputih susu,
demikian pengertian kopi baginya, Alexander.
Aku tak pernah melihatnya datang bersama
seorang kawan, baik perempuan atau lelaki. Terkadang ia datang dihari Senin,
Rabu, atau akhir pekan dan dengan pasti ia akan duduk disofa dekat jendela.
Menonton aksi barista, menghampiri Natasya si pianis mingguan disudut lounge
atau hanya sekedar membaca buku tebalnya. Ada satu hal yang membuatku
bertanya-tanya, mengapa ia betah berjam-jam menunggu lagu “La Vie en Rose”
mengalun.***
Seringkali kudapati komentar elegan akan kafe
ini, The Rubicae. Mungkin karena atapnya yang serupa kubah berhiaskan mozaik,
ditambah sapuan cat marun yang selaras dengan lampu gantung yang berpijar
keemasan. Terkadang jari-jari Natasya menambah suasa romantis saat menari diatas
piano.
Termasuk pelanggan setia yang satu ini, ia
baru saja masuk dan berjalan lambat seraya mengedarkan pandangannya keseluruh
penjuru kafe. Saat matanya berhasil menemukan kedua mataku, langkahnya makin
mantap mengarah tempatku bertugas.
“Selamat malam, Nona Juliet. Bagaimana
kabarmu?” Aku tak tahu kapan ia mulai mengganti sapaan Anda padaku. Kami mulai
dekat saat aku dengan percaya dirinya menyajikan langsung latte pesanannya. Dan
kebetulan namaku mudah diingat baginya, layaknya tokoh dalam roman picisan
Romeo dan Juliet.
“Ah, aku mulai bosan pada Romeo, aku bahkan
berniat untuk mengkhianati cintanya” kutampakkan wajah sendu
Alexander tersenyum mendengar candaanku,
dilepasnya kacamatanya yang sedikit berembun karena rintik gerimis. “aku mau
secangkir latte bergambar sabit”
“Kau tak lagi jatuh cinta?”
“Mungkin, saat kau melupakan Romeomu itu”
Tak lagi kubalas ucapannya, aku sibuk dengan
mesin kopi membuat pesannya. Kulihat ia serius memandangiku yang sedang
mencurahkan susu dari corong stainless saat mencipta buih rosetta. Saat
pesannya telah tersaji didepannya ia tersenyum semanis caramel. Dokter itu tak
sadar tingkahnya membuat jantungku sedikit berdebar.
Ternyata pengetahuannya tentang kopi tak
seperti yang kubayangkan. Ia bahkan paham kisah Kaldi sipenggembala di Ethiopia
yang menemukan biji kopi. Alexander bahkan tahu seperti apa biji kopi Arabica,
robusta, luwak, atau apapun itu. Ah, aku menyesal baru sekarang berjumpa dengan
lelaki mempesona seperti Alexander.***
Entah sejak kapan Alexander mulai menyamakan jadwal
kedatangannya dengan jadwalku. Terkadang kami bertukar cerita dan tertawa
lepas, meski berpasang mata menatap kami penuh rasa curiga.
“Minggu ini Natasya cuti dan kami berniat
memutar koleksi jazz lainnya, dan lagumu tak akan diputar”
Ia membelalakan bola matanya tak percaya.
“Kami mencoba sesuatu yang baru” kataku
meyakinkannya.
“Aku bisa memainkannya untukmu, tentu kalau
kau bersedia menunggu hingga kafe tutup” ucapku sembari berlaih pada mesin kopi
Jura.
Alexander terdiam, tangannya mulai mengaduk
kopi, denting perlahan terdengar dari peraduan sendok dan bibir gelas.
Senyumnya mengembang tepat sebelum ia menyeruput sisa lattenya.***
“Silahkan, sebuah hadiah dariku” Kosodorkan
segelas kopi dingin, karena ia menepati janjinya menemaniku hingga kafe tutup.
The Rubicae kini telah tutup, tak ada pengunjung, tak ada alunan musik, tak ada
celotehan pelayan dan barista. Hanya ada aku dan Alexander.
Perlahan kumainkan piano yang biasanya
dipegang Natasya. Meski tak selihai pianis itu, tapi aku yakin penampilanku tak
begitu buruk. Alexander menatapku, menikmati tarian jariku yang lincah diatas
tuts piano, terkadang terlihat ia ikut menyanyikan lagunya.
Quand il me
prend dans ses bras
Il me parle
tout bas
Je vois la
vie en rose
Dan akhirnya tepuk tangannya bergema
mengiring akhir lagu tersebut. Ia tersenyum menatapku yang sedang menghampiri
mejanya.
“Tak terlalu buruk bukan”
“Harusnya kau belajar bermain piano daripada
menjadi seorang barista. Bukankah kau tak mendalami ilmu meracik kopi itu”
“Aku kenal pemiliknya, dan saat itu ia
membutuhkan tenaga peracik kopi, meski tanpa pengetahuan”ucapku penuh
kebanggaan.
“Kau tak berniat mengenalkan pelanggan setia
The Rubicae padanya”
“Ia orang yang tak pandai bergaul, kau tak
akan suka”
“Kau takut aku jatuh hati padanya?”
“Hah, tentu saja tidak” tepisku mengalihkan
pandangan “lagipula ia sudah memiliki kekasih”
“Kekasih” ia tertawa lirih
“Kau sendiri? Kurasa seorang dokter yang
tampan tentu saja mempunyai segerombolan fans”
Alexander terdiam, ia membalas pandanganku,
matanya seakan mencari sesuatu didalam kedua mataku.
“Dua tahun lalu, hampir ada cincin yang
melingkar dijari manis ini” ia memperlihatkan jari manisnya yang terlihat
kerempeng. “Tunanganku seorang pramugari, dua bulan sebelum pernikahan ia melakukan
penerbangan tuk terakhir kalinya. Sayang pesawatnya jatuh ke Samudra Pasifik,
tak ada yang pernah diketemukan”
“La Vie en Rose?” tanyaku semakin penasaran
“Lagu favoritnya, ia bilang Prancis adalah
hal yang paling romantis. Ia penggemar kopi, dari biji arabika, robusta, luwak
apapun itu ia menyimpannya. Aku menyesal dulu tak pernah menemaninya minum kopi
favoritnya, latte” ungkap Alexander sedikit menyeruput icepressonya.
“Kau terus mencari kenangannya?”
“Menyakitkan untuk melupakannya, aku sudah
mencoba tapi semua sia-sia. Entah mengapa aku terpikir untuk terus
mengingatnya, mengenang kepedihannya, hingga semuanya membosankan dan nantinya
tak akan kurasakan apapun”
Tangan Alexander gemeter, membuatku
memberanikan menggenggamnya. Akal sehatku mulai kabur.
“Kenangan memang tak akan pernah bisa kita
hapus. Namun, bukankah ada dua pilihan? Mengabaikannya dalam sudut memori atau
menciptakan kenangan baru”
Alexander mencoba tertawa mendengar
nasihatku. Aku berhenti berkata, hanya memandanginya. Suara tawanya beradu
dengan seruputan kopi yang mulai surut. Ia terhenti saat mendengar bunyi
kerontang, menyisakan batu-batu es. Segelas kopi yang tandas itu seakan
menyiratkan hatinya yang tengah berkecamuk dengan masa lalunya.***
“KAULAH satu-satunya alasanku datang ke The
Rubicae. Kaulah yang kuharapkan menjadi kenangan baru” tutupnya diujung obrolan
kami.
Aku berusaha mengendalikan diri, setelah
setangkai mawar tak lagi dapat kukuasai. Bunga perlambang cinta itu terjatuh
tepat diatas marmer kelabu, seakan mengejekku yang berulah bak pengecut.
Aku bangkit, tak lagi mampu kubalas tatapan
Alexander, perlahan setetes penyesalan mulai tergambar dihatiku. Kulihat Alexander
perlahan mengikutiku bangkit dari duduknya dan mulai melangkah menuju pintu. Lekas
kupakai mantelku dan meninggalkan The Rubicae yang kian sunyi, hanya terlihat
punggung laki-laki penikmat latte tersebut kian mengecil, semakin jauh
meninggalkanku dan The Rubicae.
Seutuhnya adalah kesalahku, membawanya
bernostalgia dengan masa lalunya semenentara aku tak bisa menjadi penghibur
yang baik. Membiarkanku melihat sisi gelap hatinya, sementara aku tak kan
pernah bisa menyinari ruang itu dengan cintaku. Semoga Tuhan tak mempertemukan
kami dalam ruang dan waktu dimasa depan. Sungguh aku berharap Alexander tak
memberi kesempatan untukku mengisi secuil ruang dihatinya.
Andai waktu bisa kuundurkan, setahun saja,
aku rela kehilangan semua, rekan, bakat meramu kopik, bahkan jati diri. Sebab,
The Rubicae, kedai kopi tempat kami bersama adalah milik laki-laki yang lebih
dulu menerangi hatiku dan menuntut sebuah kesetian.*** *** ***
Langganan:
Postingan (Atom)