Minggu, 27 Oktober 2013

Undangan Tanpa Nama#4

"kau tak datang akan kubatalkan semua ini, tak peduli dengan calon bayi yang bukan milikku.. "katanya
Masih saja kata - kata Anjar terngiang dikepala, dari kemarin hal ini terus saja berada dikepalaku, seolah tak mau pergi dan tergantikan oleh pikiran yang lain.Berulang kali kuyakinkan pada diriku sendiri untuk tak lagi memikirkan Anjar lagi, namun berulang kali pula ada rasa penasaran akan kata - kata Anjar tersebut.
Hampir hari mingguku ini tak terisi oleh kegiatan apapun, lari pagi atau sekedar bersepeda keliling kota pun tak kulakukan. Hanya terdiam saja dalam kamarku yang selalu setia menemaniku dalam kesendirian ini. Bahkan kubiarkan saja ibuku yang sedikit marah - marah gara anak perempuan satu - satunya ini sangat malas dihari minggu ini. 
"itu cucianmu tinggal dijemur tang" teriak ibuku dari luar kamar "ibu mau pergi ke pengajian di masjid,, kamu jangan lupa dijemur nanti" lanjutny lagi
"iya" jawabku pelan
"jangan lupa dijemur" kata ibuku mengulanginya
Aku terdiam, tak kujawab perintah ibuku, toh nanti kan kujemur, 'entah kapan' kata ku pelan. Aku masih saja bergelung ditempat tidurku yang nyaman, kutarik kembali selimut tuk menutupi tubuhku. Meski tak ada rasa kantuk tapi rasa selimut yang menutupi tubuhku membuatku sedikit nyaman.
'kalau benar kata Anjar, kenapa ia harus tanggung jawab' kataku dalam hati
'udah lah itu bukan urusanmu' suara dari sebrang hatiku yang lain
'bukankah masih ada sedikit rasa untukku, bukankah kau masih merindukannya' bela separuh hatiku
Tak bisa kupungkiri, walau telah lama Anjar menghilang, tapi masih saja ada sedikit perasaan untukknya, masih saja belum bisa kulupakan segala kenangan tentangnya. Setelah sekian lama waktu berjalan, aku hanya mampu berpura - pura dalam pelupaan tentang Anjar ***
"lho beneran hari ini ngak masuk gara - gara mau ke kawinannya Anjar" kata mba Intan disebrang sana
"iya mba, tolong titip absen ya" kataku sambil mengecek kembali isi tasku
"yakin datang" katanya
"aku hanya datang mba, ngak ada niatan tuk merusak acaranya" kataku "sebagai teman" akhirnya ada kata yang pas yang dapat kujadikan alasan
"perasaanmu?" tanyanya lagi
"tenang aja, sudah tutup pake lakban" candaku
"ntar jangan nangis ya.."
"kenapa harus nangis, emang bayi nangis pengen susu" tantangku
"sekarang aja bisa ngomong seperti ini, kita lihat besok apa masih bisa becanda lagi" katanya
"doain aja mba"
"okey, ya udah sana siap - siap, dandan yang cantik biar Anjar nyesel salah pilih" pesan mba Intan sebelum menutup telfonnya***
 "lama ngak ketemu tang, kemana aja??" sapa Ayu ketika bertemu di pelataran rumah Anjar
"perasaan disini saja ngak kemana - mana, dirimu tuh yang pergi jauh ke Jepang, ngapaian balik sih?" godaku
"masih seperti dulu yah, suka godain orang lain" katanya sambil tersenyum
"bukannya enak di Jepang?" tanyaku lagi
"tapi kangen sama yang disini" jawabnya "tapi ngak termasuk lo tang"
Belum sempat kumembalas candaannya kami sudah disambut beberapa teman lama yang ikut hadir dalam ijab kabul Anjar. Rasanya kembali ke jaman dahulu, ketika masih berseragam putih abu - abu, hal - hal konyol yang dulu terjadi sekarang malah jadi bahan pembicaraan yang seru. Hampir semuanya mengalami perubahan meski sifat dasar mereka masih melekat sama seperti dulu.
"tang, bareng dimobilku ya" kata Anjar sambil menarik lenganku
"tapi...
"cie,, cie,,, kesempatan terakhir sebelum kawin nih" ledek Adit
Anjar hanya tersenyum mendengar ledekan dari yang lainnya juga. Mungkin memang saat inilah waktu yang tepat untuk meluruskan segalanya sebelum peristiwa besar yang kan merubah hidupnya nanti.
"bapak sama ibu?" tanyaku ketika sudah didalam mobilnya
"mereka didepan bareng mba Fera" perlahan ia melajukan mobilnya, mengikuti iringan mobil - mobil lain yang sudah berjalan lebih dulu
"sekali lagi gue minta maaf tang" katanya membuka pembicaraan
"udahlah, toh semua udah berlalu"
"satu hal yang mesti lho tahu, gue juga ngak ingin dengan pernikahan ini" katanya sambil terus menyetir
"semua ini demi bakti pada kedua orang tua yang sudah berhutang budi sama keluarga pak Wijaya," lanjutnya
"lalu.. ini bukan sinetron Njar" kataku
"anaknya mereka, Fira hamil kemudian ditinggal pacarnya"
"bukannya dia dokter" tanyaku makin penasaran
"biasa lha, gaya hidup di Jakarta memang ada yang tidak kita mengerti" katanya
"dan ngak ada penolakan darimu?" tanyaku
"bapak punya riwayat jantung,, aku takut" kata Anjar pelan
"okey, gue terima penjelasan ini dan ini ngak akan merubah apapun" kataku
"betul,, aku hanya ingin menyampaikan penjelasan ini" katanya tersenyum memandangku sejenak
"aku berharap suatu saat kamu akan menemukan lelaki yang lebih sempurna" katanya
Aku hanya mengangguk saat ia berkata seperti itu, sekarang harus kuhilangkan semua rasa dihatiku ini. Tak ada lagi kenangan yang boleh diingat, karena satu jam lagi Anjar akan menjadi milik orang lain, mau tidak mau, ikhlas atau tidak ikhlas, semua ini akan terus berjalan
"kita masih bisa bertemankan?" tanya Anjar
"okey, just friens.."kataku tersenyum "moga pernikahanmu lancar, apapun yang terjadi bayi itu tidak berdosa Njar," lanjutku 
"makasih tang" Anjar akhirnya tersenyum
Mungkin senyum terakhir yang dapat kuabadikan sebelum Anjar menjadi milik orang lain. Senyum terakhir yang harus kusimpan dalam laci hatiku yang paling dalam dan tak kan boleh kubuka lagi...
"saya terima nikahnya dan kawinnya Syafira Wijaya binti Ahmad Wijaya dengan mas kawinnya yang tersebut tunai" kata Anjar terasa tegas dan lancar
"bagaimana saksi?"tanya sang penghulu
Dan iringan jawaban "syah" terdengar serempak didalam masjid yang megah ini. Dan seiring dengan jawaban tersebut meluncurlah setitik air mata yang tak bisa dibendung lagi. Tak mampu kulihat Anjar lagi yang sedang tersenyum menghadap kamera. Anjar, nama itu harus segera kuhapus dari seluruh ruang hatiku...




Nb. mungkin cukup sekian fiksi ini, tapi bila ada waktu dan keinginan tuk menulis maka akan tercipta lanjutannya, berharap ini hanya cerita belaka, tak ada cerita dalam kehidupan yang nyata, siapa juga yang mau ditinggal kawin sama orang yang telah kita tunggu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar