Selasa, 01 Desember 2015

Aku, Cerita dan Seseorang

Jarang nulis tentang keluarga dan kehidupan pribadi, karena itu bukanlah hal yang tertalu menarik. Tapi belakangan rasanya ingin menulis tentang seorang yang teramat berarti dalam hidup. Tapi tak tahu harus dimulai darimana, entah dimana awal dan akhirnya.


Dari beliau mengalir cerita-cerita jaman dahulu. Mulai garis keturunan yang sampai sekarang saya gak hafal, beragam makanan yang gak akan pernah saya makan, kisah hidup masa lalu yang sangat berat tapi kadang dirindukannya lagi sampai tempat-tempat yang dulu ada tapi sekarang gak ada lagi.

Siapa dia??? Jawabannya nanti saja diakhir tulisan ini.
Otak ini langsung berjalan lambat kalau beliau sudah bicara mengenai silsilah keluarga. Kalau sebatas kakek-nenek saya masih bisa paham, tapi kalau sudah diatasnya saya menyerah. Begini kata beliau, ayahnya nenek saya menikah dengan si A lahirlah nenek saya dan saudaranya. Karena pekerjaannya seorang tukang slender (bahasa jawa untuk tukang aspal jalan) yang suka kemana-mana jadi punya istri dimana-mana. Nah disinilah letak rumitnya menghafal pohon keluarga tersebut, si istri B punya beberapa anak, istri C juga sama punya beberapa anak ditambah anak dari suami sebelumnya. Belum lagi si ayah nenek saya ini juga punya kakak dan adik, dan seterusnya. Nah, bingungkan ngapalin tingkatan sebutan yang benar.
 
Soal sebutan juga rumit (dalam tradisi kami sebutan untuk keluarga besar dinamakan juga "pernah"). Sebutan sebetulnya tidak memandang umur, pangkat, kekayaan atau pekerjaan, tapi dijaman sekarang dimana segala sesuatu diukur dari materi, panggilan pun berubah. Contoh, saya harus memanggil kakak dari ibu dengan sebutan pakde, dan bagi istrinya budhe. Tapi ada satu kasus, saya memanggil anak dari budhe saya dengan sebutan ibu (seharusnya kak atau mba) karena dia seorang guru, punya suami seorang lurah dan umur yang lebih tua. Meski sudah mulai termakan jaman, tapi masih ada segelintir orang yang menghargai "pernah" ini, dan tak memandang umur, pangkat, jabatan, dan harta ia masih menghargai orang yang lebih tua dalam susunan keluarga besarnya.

Perbedaan jaman membuatnya terkadang bingung dengan kecanggihan era sekarang. Seperti soal toko online, beliau bilang enak banget gak perlu kemana-mana barang udah nyampe dirumah. Padahal dulu katanya, dia harus jalan kaki hingga ke desa tetangga untuk beli kebutuhan rumah tangga seperti minyak tanah, garam, panci, dan lainnya. Sering kali beliau memandingkan fungsi dari benda jaman sekarang dan dahulu. Cerita beliau, dulu belum ada plastik, kalau beli minyak goreng harus pake botol beling yang berat, beli gula pasir juga dibungkus kertas, mau bikin nasi jagung harus rela berjam-jam menumbuknya gak kaya sekarang tinggal ke tempat penggilingan. 
Demikian perbedaan makanan, sekarang banyak pilihan makanan instan yang cepat dibuat. Dari mie, bubur, kopi, roti, nuget, sosis, hingga jus buah. Lah dulu, cuma ada jagung rebus, ketela goreng, sampe tempe bungkil. Kata beliau, dengan adanya makanan yang cepat saji dan beraneka macam ini maka makin banyak penyakit yang aneh-aneh pula. Bener juga sih pemikiran beliau.

Dulu beliau menghabiskan waktu bermainnya di sawah, sambil membantu memanen padi. Nah sekarang, anak-anaknya baru mau pergi ke sawah udah dilarang sama ibunya, yang katanya kotor, ada kumannya, takut tersesat, kalo ujan takut kena petir. Akhirnya sianak main dirumah, main diwarnet, cuma kenal sama dunia maya yang makin menyesatkan. Jaman sekarang pohon-pohon tak lagi ditanam, sekarang manusia menanam rumah dibumi ini. Gak ada lagi pohon jambu yang bisa dipanjat rame-rame, gak ada lagi rimbunan pohon bambu yang terkadang membuat anak-anak ngeri takut ada lampornya.

Dan yang paling dirindukan adalah orang-orang dari jaman beliau. Satu per satu mereka pergi untuk selamanya, tergantikan anak-cucu. Pelan tapi pasti semakin menyusut, teman hidup, orang tua, saudara, kerabat, teman bermain, kenalan berpindah pada dimensi yang abadi. Hanya lewat bunga tidur mereka bertemu, dan kenangan akan mereka kembali menggodanya.

Dari beliau saya ada, saya belajar, bukan tentang A,B atau perkalian saja tapi mengenai kehidupan sejati. Belajar menyikapi berbagai karakter orang, belajar menghargai tumbuhan dan hewan, belajar berlindung dari hujan dan angin, belajar menyelesaikan masalah hidup yang tak kunjung berhenti, dan terus belajar untuk hidup. 

Terkadang saya marah, kecewa, sedih akan sikap beliau yang sering kali tak terpikirkan oleh pemikiran saya, tapi saat melihat bayangnya kembali saya kembali belajar. Entah dengan apa saya membalas ilmu-ilmu yang sudah melekat dalam ingatan dan hidup, hanya berusaha menjadi apa yang terbaik baginya. 
Tulisan ini saya buat untuk mama saya. Beliau gak akan pernah membaca tulisan ini, dan saya pun tak akan pernah mengatakan pada beliau. Biarlah ada sedikit rahasia diantara kami. Maafkan anakmu ini yang sering ngeselin, suka tanya ini itu, terkadang melakukan sesuatu sesuka hati, masih sering berontak, dan segala kelakuan melenceng anakmu ini. Seberapapun keras saya mencoba untuk menjadi anak baik tetapi rasanya masih saja ada celahnya.

Terimakasih ma, for everything 

Dan terimakasih untuk pembaca sekalian yang sudah membaca tulisan lebay ini. Salam dari kota kecil Purbalingga, terkirim salam pula dari hujan yang tiap hari datang.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar