Jumat, 18 Desember 2015

Jawa (Pudar)

 
Berawal dari petikan pengajian di Masjid yang mengatakan, 'orang Jawa telah hilang Jawanya'. Kalimat ini tersimpan dalam memori untuk beberapa saat, selalu muncul saat sepi itu ada, saat sendiri kembali berada (bingung saya dengan ungkapan barusan.

Kembali ke 'orang Jawa telah hilang Jawanya', sepertinya kalimat ini benar adanya. Apalagi untuk keadaan sekarang, orang-orang yang hidup di era modern, berbaur dengan orang dari ribuan suku di dunia, dengan bahasa, kebiasaan, adat, dan pemikiran yang tentunya berbeda-beda juga.

Orang Jawa itu bukan hanya orang-orang yang mendiami pulau Jawa tetapi juga orang yang tinggal diluar pulau Jawa tetapi mereka berasal dari pulau Jawa. Di pulau Jawa sendiri terdiri dari 3 golongan besar suku, yaitu Sunda (Jawa Barat), Jawa (Jawa Tengah), Tengger, Osing (Jawa Timur), dan puluhan sub suku yang merupakan pecahan dari suku besar tersebut. Orang Jawa yang pergi ke suatu tempat diluar Pulau Jawa dan kemudian mempunyai keturunan pun masih disebut dengan Orang Jawa.

Sebagai orang Jawa (bertempat tinggal di Jawa Tengah dan mempunyai leluhur orang Jawa murni) saya sendiri mengakui telah mengurangi rasa ke-Jawa-an. Apa itu ke-Jawa-an? Apa tolak ukurnya? Siapa yang menilai? Entahlah?




Dimulai dari bahasa, bahasa adalah alat komunikasi utama seorang manusia. Dan bahasa Jawa yang mempunyai sejarah panjang adalah bahasa ibu bagi Orang Jawa. Bukan hanya hurufnya yang terlihat rumit, tapi bahasa Jawa juga mempunyai tingkatan yang tak mudah dipelajari. Setiap orang Jawa harus berbicara sopan dengan orang yang lebih tua, orang punya jabatan atau kedudukan dengan krama inggil. Sedangkan untuk orang yang seumuran dengan kita atau lebih muda tak masalah bisa menggunakan bahasa ngoko. 
Di era sekarang dimana murid-murid lebih tertarik (malahan diwajibkan) untuk lebih menguasai bahasa Inggris. Jam pelajaran bahasa Inggris yang lebih lama dibandingkan dengan bahasa Jawa menjadikan waktu belajar bahasa ibu suku ini menjadi sangatlah minim. Dalam kehidupan sehari-hari pun, lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa campuran. Dan generasi muda makin tak paham bahasa Jawa
  

Rumah orang Jawa dulu berbentuk joglo, berdinding kayu dengan lantai dari ubin biasa. Bagi orang yang tak mampu, rumah mereka ala kadarnya, berdinding anyaman bambu dengan lantai tanah yang keras. Tak ada batu bata, tak ada keramik apalagi berlantai dua. Orang Jawa biasanya mempunyai ruang tamu yang luas, kamar yang tak dipetak-petak dan dapur dibelakang yang hitam karena memakai tungku serta halaman dengan yang luas dan ditanami pohon jambu atau mangga.
Lihatlah sekarang, kebanyakan orang jawa telah berumah tembok, dengan dinding batu bata dilapisi cat warna mentereng, berlantai keramik yang tiap hari harus di pel, dan pekarangan sempit berisi mobil dan motor. Rumah-rumah orang Jawa dahulu memang tetaplah ada, tetapi dalam pandangan masyarakat kini rumah tersebut terlihat kuno dan ketinggalan jaman. Rumah  orang Jawa telah berumah bentuk menjadi rumah orang asing.


 
 Orang Jawa dulu bergaya hidup sederhana. Mereka lebih mementingkan tumpukan beras untuk musim yang akan datang dan hanya menikmati makanan ala kadarnya. Memakan yang apa mereka punya dengan penuh keikhlasan. Cukup dengan sayur daun ketela, tempe, dan sambel, sesekali telur, ikan, ayam, dan daging sapi menjadi hidangan yang terlihat mewah. Tanpa ada tambahan bumbu penyedap atau bahan pengawet. Semua dimasak dengan cara yang alami.
Dan sekarang lidah orang Jawa sudah mengenal coto Makasar, pizza, fried chiken, sosis, nuget, dan apalah makanan yang lainnya. Perkembangan waktu dan beragamnya orang-orang menjadikan orang Jawa ikut menikmati beraneka ragam makanan yang dulu tak pernah ada.

Dan masih banyak lagi aspek-aspek kehidupan orang Jawa. Kesenian, adat, tradisi, pakaian, pemikiran dan lain sebagainya. Hampir setuju dengan pemikiran penulis blog yang saya baca ini (http://aresidwija.blogspot.co.id/2011/08/wong-jawa-ilang-jawane.html). Seperti baju yang sering dijemur diterik matahari, warnanya akan memudar karena termakan waktu dan keadaan. Seperti itulah orang Jawa, yang karena terbentur keadaan, bergulirnya waktu, berbaurnya bermacam suku, dan sebab lain yang mengakibatkan memudarnya rasa ke-Jawa-an itu. 
  




Namun saya percaya, akan beberapa orang yang tetap menjaga kelestariaan Jawa. Perlunya didikan bagi generasi muda akan siapa sebenarnya mereka atau siapa jati diri mereka sangatlah penting. Mereka yang baru akan memulai mencari jati diri jangan sampai hanya mencontoh jati diri kaum lain dan meninggalkan jati diri sebagai orang Jawa. Warna itu harus kita selamatkan agar tidak kian pudar.

Ngelmu iku
Kalakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya budaya pangekese dur angkara
 (diambul dari tembang Pocung yang artinya Ilmu (hakekat) itu diraih dengan cara menghayati dalam setiap perbuatan, dimulai dengan kemauan. Artinya, kemauan membangun kesejahteraan terhadap sesama, Teguh membudi daya. Menaklukkan semua angkara)

Dadi wong Jawa kue angel-angel gampang, ora mung kudu bisa ngomong unggah-ungguh, ora kudu nganggo jarit (ngo wong wadon) lan beskap (ngo wong lanang) tapi juga kudu due pemikiran lan tindakan wong Jawa. Wong Jawa kue ora seneng ribut-ribut, ngomonge alus, tingkah lakune ditata, andhap ashor, wani ngalah luhur wekasane, lan liya-liya sipat apik wong Jawa kang bisa diconto.  Wong Jawa juga kudu njaga tradisine, aja ngasi ilang kegawa jaman sing tambah edan. 
Lha, siki semisal wis kebanjur pada ilang rasa jawane, ya mayuh ditata maning. Misal bisa dianakna hari bahasa jawa, dadi sedaerah kue aben dina sing wis ditetapna kudu nganggo basa jawa, marang guru, kanca, wong tua, tukang ngamen, wong dodol lan liya-liyane. Grup-grup kesenian kaya kenthongan, lengger, ebeg pada dikenalkan maring bocah-bocah cilik utawa generasi sing esih enom, ben kenal lan ora ilang. Dilakukna sekang keluargane dewek-dewek disit, nembe lingkungan sekitar lan lingkungan sing lebih gedhe. Pemerintah juga kudu gerak, aja mung ngurusi ini-itu bae, soale kebudayaan uga penting.

Terimakasih sudah berkunjung dan membaca sedikit ocehan ini.
Part akhir silahkan tanyakan kepada orang Jawa (bila tak mengerti artinya). 
Salam dari kota Purbalingga yang sore ini tak hujan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar